Author: .
•03.30

KALKULASI KEPENTINGAN DENGAN TERMA TERORISME
Oleh: Maltuf Ready*

Hal yang terpenting tentang Islam adalah bahwa kita harus membedakan dua wajah Islam. Pertama, lembaga Islam. Kedua, budaya Islam
(Gus Dur)

Stigma terhadap Islam sebagai agama kekerasan, teror, anti-HAM, anti-demokrasi, dan lain sebagainya, menjadi afirmatif ketika mendapat momentum pasca-peristiwa 11 September dulu dan realitas kebanyakan dunia Islam yang dipimpin oleh kekuasaan otoriter.

Perspektif barat terhadap Islam yang penuh deskripsi peyoratif merupakan generalisasi yang salah kaprah, sekaligus kegagalan memahami peradaban Islam secara holistik. Banyaknya aksi yang tidak adil terhadap umat Muslim di negara-negara Barat tidak lain bermula dari akar masalah persepsi yang timpang ini. Diskriminasi sosial yang sering menimpa sebagian umat Islam di dunia Barat adalah akibat korelasi pemahaman yang masih menyimpan trauma bahwa Islam mengajarkan kekerasan, ketidakadilan, dan sebagainya.

Dalam perspektif Barat, Islam erat kaitannya dengan model agama yang mendidik terorisme dan kekerasan. Munculnya tesis orientalis semacam Bernard Lewis yang melihat sisi buruk Islam politik atau Samuel Huntington dengan tesis benturan antar peradaban, lahir dari genealogi prasangka Barat yang memiliki kuasa kepentingan atas dunia Islam.

Di sinilah kritik Edward Said kembali relevan mengenai orientalisme (1978), bahwa Timur dipandang sebagai yang lain dan akhirnya menjadi truth claim untuk menyusun beragam teori, deskripsi politik, dan sebagainya. Orientalisme akhirnya menjadi proyek historis-materialis sebagai jenis pengetahuan Barat yang mempunyai tujuan mendominasi, merestrukturisasi, dan mendatangkan kekuasaan atas Timur.

Sebuah buku berjudul Western State Terrorism yang dieditori oleh Alexander George, mengkompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward S. Herman, Richard Falk, dan sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya (to employ terrorism as a tool of foreign policy). Prof. Edward S. Herman, guru besar di University of Pensylvania dan Gerry O’Sullivan menulis sebuah artikel berjudul “Terrorism as Ideology and Cultural Industry. Mereka menyebut terorisme sebagai industri multinasional, dimana terdapat hubungan erat antara pemerintah, sponsor swasta, institusi-institusi pemikir, cendekiawan, baik di dalam AS maupun utamanya antara AS, Israel, dan Inggris.

Semakin biasnya penggunaan istilah teroris adalah dalam kasus pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) di Shabra-Shatila pada 1982. Pembantaian itu jelas dilakukan oleh Tentara Kristen Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris.

Mengikuti perjalanan sejarah terorisme, mulai dari aksi-aksi bom bunuh diri hingga yang terbaru kemaren, peledakan dan penyanderaan di Hotel Taj Mahal, Mumbai, Rabu malam (26/11/2008) lalu, mengusik diri setiap orang dengan suatu pertanyaan seragam: apa yang melatarbelakangi pelaku teroris tersebut? Benarkah mereka melakukan tindakan tersebut semata-mata karena alasan ideologis semata atau adakah alasan lain di luar itu?. Meskipun pertanyaan ini sederhana, namun jawabannya tidaklah mudah.

Pertama, Satu hal yang harus kita akui bahwa, jika terorisme sekadar dikaitkan dengan ideologi atau agama tertentu, dengan melihat aksi-aksi terorisme yang terjadi di negara-negara Asia serta di dunia ketiga semisal Indonesia, pendapat tersebut sangat tidak relevan. Terorisme adalah sebuah kejahatan terorganisasi, lintas negara, yang kebetulan menunggang kepentingan sebuah ideologi dan bersembunyi di balik kedok agama. Karena pada dasarnya setiap agama menganjurkan pemeluknya menghindarkan kekerasan dalam penyelesaian suatu masalah, maka adalah sesat jika para teroris itu menyebut aksinya sebagai perintah agama, apalagi diklaim sebagai syuhada’ bagi pelaku teror yang mati saat melakukan teror bom bunuh diri atau mati karena dieksekusi.

Kedua, mengkritisi ulang akan dominasi pendekatan kebudayaan terhadap konflik-konflik Muslim-Barat, bahwa konflik-konflik itu tak dipicu oleh identitas budaya, agama atau peradaban, tetapi oleh sebuah kalkulasi kepentingan.

Seyogyanya pilihan untuk menggunakan kekerasan atau teror itu bukan merupakan cermin dari faktor ideologi, agama atau kultural. Tapi merupakan cermin dari faktor kalkulasi strategis atau kalkulasi kepentingan. Artinya, jika sebuah kelompok memilih untuk menggunakan pendekatan kekerasan atau kedamaian, maka bergantung pada kalkulasi insentif dan disinsentif atas tiap-tiap pendekatan tersebut. Perlawanan dan metodenya sering ditentukan oleh kalkulasi tersebut, tidak hanya kalkuasi ideologi, agama dan kultural.

Hal ini bisa kita lihat pada hubungan antara Amerika Serikat (AS) dengan kelompok mujahidin Afghanistan. Berbagai kelompok oposisi Afghanistan ini sebelumnya berada dalam barisan yang sama dengan AS saat berperang melawan pendudukan Soviet di Afghanistan pada tahun 1980-an. Saat itu, AS memandang kelompok ini sebagai pejuang kemerdekaan atau pahlawan. Tetapi kini, sebagian dari kelompok ini malah berperang melawan AS, kekuatan pendudukan baru. Sehingga AS dengan tanpa pandang bulu, men-cap kelompok ini sebagai teroris. Cara pandang masing-masing pihak ini terhadap tantangan, kepentingan, dan posisi masing-masing membuat mereka bersekutu atau bermusuhan.

Ketiga, istilah clash civilization-nya Samuel P. Huntington itu terlalu dipaksakan. Seakan-akan ada sebuah situasi konflik yang spesifik antara Muslim dan Barat. Pada hal konflik-konflik yang dinyatakan sebagai benturan peradaban tak pernah menyangkut agama semata. Hal ini bisa kita lihat pada Perang Salib, selain agama juga memiliki kepentingan politik dan tanah.

Anis Baswedan, Rektor Universitas Paramadina ini pernah mengungkapkan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah berbagai bentuk polarisasi yang selalu muncul sepanjang sejarah manusia. Baik polarisasi budaya, ideologi, ras, dan agama. Sedangkan polarisasi itu sendiri merupakan bagian dari fitrah kehidupan.

Meskipun demikian, motif-motif ideologis atau agama itu tentu ada tetapi hanya berjalan di tingkat mikro atau yang biasa disebut dengan motif-motif individual. Agama atau ideologi hanya alat yang dibajak untuk merekrut, memotivasi, serta menciptakan solidaritas para pelaku sebagai legitimasi. Konflik-konflik itu didengungkan sebagai konflik yang bersifat ideologis atau religius untuk menginspirasi para pengikut, melegitimasi perang sebagai just war, menarik sekutu, dan sebagainya.

Keempat, dalam kerangka pemahaman terhadap wacana ini, maka penting menggunakan analisa strategis rasional yang tujuannya adalah untuk mengetahui potensi konflik kekerasan yang mungkin timbul, sehingga bisa segera menemukan cara pencegahannya. Jika hanya menggunakan pendekatan kultural (cultural approach), sebuah pendekatan yang melihat tindakan seseorang atau kelompok dipengaruhi oleh variabel-variabel psiko-religius-kultural, maka dimungkinkan hanya akan berputar-putar saja, tanpa mengetahui bagaimana cara menangani konflik tersebut.

Kelima, penggunaan ideologi, kebudayaan, dan agama hanya sebagai senjata ampuh dalam menciptakan solidaritas dan integritas yang tinggi. Ini terjadi karena ketransendentalan dan kemesiahannya yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan di luar dirinya. Ketika tujuan di luar dirinya itu tercapai, ia bisa dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan strategis lainnya. Jika kemudian terjadi perubahan-perubahan geopolitik maka tidak impossibel merubah sekutu menjadi musuh.

Dua mata memahami Barat dan Timur

Ada hal yang menarik saat ini, dan ini juga bisa dikatakan peluang karena antara islam di barat dan barat di Islam masing-masing mempunyai ruang dialog. Islam sedang tumbuh dan hadir di pusat-pusat peradaban yang menonjol, seperti di kota-kota utama Amerika atau Eropa. Meskipun sebagai minoritas, Muslim di sana harus mampu menunjukan kepribadian yang baik, menegosiasikan nilai-nilai Islam melalui bahasa peradaban tuan rumah, menjadi bagian dari kekayaan peradaban tersebut.

Demikian pula yang dialami oleh orang-orang Barat yang tinggal di negara-negara Muslim (Timur). Di tangan duta besar masing-masing elemen inilah masa depan hubungan Muslim dan Barat terletak, karena mereka memiliki posisi istimewa untuk menjadi bagian dari masyarakat Muslim maupun Barat.

Sedangkan persepsi, paradigma, penafsiran, serta corak pemikiran Barat atas Islam yang kurang sedap harus secepatnya didekonstruksi. Hakikatnya, kegagalan Barat yang memandang sebelah mata terhadap Islam, sejatinya merupakan kegagalan proses dialog. Akibat kesalahan dialog tersebut akhirnya menyimpan prasangka yang berlebihan serta menggeneralisasi realitas umat Islam.

Jadi, sebagaimana diktum Akh. Muzakki saat diskusi Team Manhaj kemaren, bahwa representasi barat terhadap Timur, begitu pula sebaliknya, akan menuai hasil positif. Implementasi opini ini dalam skala kecil akan memandang bahwa terorisme di berbagai belahan dunia, termasuk teror di Hotel Taj Mahal, Mumbai, yang notabene sebagai pusat perekonomian India, tidak akan dipandang sebelah mata, banyak kalkulasi kepentingan yang perlu dianalisis bersama. Jika interpretasi terorisme sebagai kejahatan timur terhadap barat, lantas disebut apakah kejahatan yang dilakukan barat terhadap Timur?.


* Penulis adalah koodinator Lingkar Pena Mahasiswa Surabaya

read more “Rumah Opini_01”
Author: .
•03.28

SAYONARA

Pagi yang buta

Gerimispun berkata

Pada langit

Pada bumi

Dingin

Hening, mencekam

Kudekap tubuhmu

Dengan bibir yang gemetar

Lalu kau berucap:

”Aku telah kehilangan tubuhku,

Aku telah kehilangan eksistensiku”.

Aku tertunduk, pilu

Kubelai rambutmu yang basah

Namun hatimu gelisah, pasrah

Seraya berkata:

Sayonara...Sayonara...Sayonara...

Aku akan meninggalkanmu

Kenanglah aku dalam diammu

Sejenak....

Ia menghilang

Kelam

Lalu,

Akupun tenggelam

Surabaya, 01 Januari 2009


REFLEKSI TAHUN BARU

Pernahkah kau berpikir

bahwa bumi adalah bulat

Seperti halnya roda yang tak ada ujungnya,

Tapi disitulah kita mengais sampah kehidupan

Mengemis kebijaksanaan

Menuntut keadilan

Menagih janji-janji penguasa

Ah, Semua itu hanya slogan kosong

Mereka semua pembohong!!

Pernahkah pula kau berpikir

Bahwa di dalam kebulatan itu ada sebuah bundaran

Yang menjadikannya hidup penuh liku

Penuh benalu

Hingga rakyat kecil tertipu

Sementara mereka

Hanya tersipu

Hanya membisu

Dengan kekuasaannya

Yang tak bermutu

Lihatlah...!!

Bulatnya bumi adalah bundar

Bundar di bumi yang bulat

Bulat di bumi yang bundar

Tapi, semuanya telah terlambat

Hingga akhirnya mereka tak bermartabat

Surabaya, 01 Januari 2009


KUKENANG DIRIMU

- Untukmu Kaum Tertindas

Kukenang dirimu

Di bawah hamparan langit tak berawan

Senyum manismu takkan mampu

Membuka pintu keraguanku

Pancaran kasihmu

Telah membuatku terbakar

dalam api kebencian

Kukenang dirimu

Di kedalaman samudra tak berair

Airnya telah berubah menjadi

Pasir-pasir kerakusan

yang berceceran

di lembah ilusiku

Kuakui, otakmu memang cerdik

Namun........

Hatimu licik

Ribuan manusia telah kau cekik

dengan jemarimu yang lentik

Lihatlah….

Aku telah menemukan jalan

Di atas jalan yang kau tempuh

Jalan itu yang nantinya

Akan mengantarkanku

Pada kebahagiaan abadi

Surabaya akhir 2008


PUTERI REMBULAN

Aku hanya bisa melihat

Bidadari itu berjalan

Di tikungan zaman

Mencari arah datangnya sebuah angan

Yang tak pernah ia bersihkan

Aku hanya bisa melihat

Bidadari itu berjalan

Dengan penuh kegamangan

Menelusuri lorong- lorong kegelapan

Tuk sekedar mencari kepastian

Yang tak pernah ia impikan

Aku hanya bisa melihat

Bidadari itu menatapku tajam

Dengan langkah gontai

Dengan tangan melambai-lambai

Lalu, ia mengajakku diam

Dalam kelam yang menyelimuti malam

Oh, inikah puteri rembulan

Yang kumimpikan semalam? Bisikku.

Surabaya akhir 2008


SEPERTI HALNYA AIR SUNGAI

Aku mencintaimu

Seperti halnya air sungai

Mengalir tanpa lelah

Mengelilingi hasrat bebatuan yang terpendam

Di tikungan zaman

Aku mencintaimu

Seperti halnya air sungai

Mengalir deras diantara celah bumimu

Yang gersang dan kering

Aku mencintaimu

Sepereti halnya air sunngai

Mengalir mengisi ruang-ruang yang kosong

Seperti halnya apakah ketika keduanya menyatu??

Surabaya akhir 2008

read more “Rumah Puisi_02”
Author: .
•03.25

SPIRIT KEAGAMAAN YANG BERBEDA

Sungguh perkataan kami akan menyisakan kematian, ketandusan, sama sekali tanpa nafsu, hingga kita meninggal sebagai akibat dari perkataan ini, lalu sesudah itu perkataan ini tiba-tiba akan bersemi kembali dalam kehidupan dan hidup di antara hati-hati yang mati, membawa mereka dalam kehidupan juga.

(Sayyid Qutb)

Di Lebanon, perang agama antara muslim dan Kristen menyebabkan perang saudara pada 1975 yang berlangsung lebih dari satu dekade. Orang-orang Lebanon lebih mengidentifikasi diri dengan kelompok keagamaan mereka ketimbang dengan negara mereka. Begitu lemahnya ikatan nasionalisme di Lebanon (Shireen T. Hunter: 2001).

Pendapat Thomas Lippman mungkin ada benarnya, tidak satu kebangkitan Islam yang meliputi seluruh dunia, tetapi merupakan serangkaian pergolakan-pergolakan yang bersifat koinsidental ketika Islam merupakan ekspresi yang umum dari ketidaksepakatan politik. Pluralisme yang terdapat dalam Islam juga menjadi salah satu penyebab beragamnya tafsiran akan kebangkitan Islam. Begitu juga yang terjadi dengan solidaritas jihad untuk Timur Tengah.

Jihad oleh Shireen T. Hunter dimaknai tidak hanya untuk bertahan ketika diserang. Tujuan jihad adalah menaklukkan semua halangan yang mungkin menghambat penyiaran Islam ke seluruh dunia, yang meliputi negara, sistem sosial, dan tradisi-tradisi asing, saat para mujahidin akan melakukan jihad yang komprehensif, termasuk menggunakan kekerasan.

Karena kewajiban jihad melibatkan kesyahidan, umat Islam harus siap berkorban karena kemenangan hanya bisa terwujud dengan menguasai "seni kematian". Definisi tersebut seolah Islam mengajarkan sikap ofensif dan progresif dengan anarkisme sebagai salah satu jalannya dalam mendakwahkan Islam. Tetapi, jika dipahami betul, progresivitas Islam adalah dalam rangka menyebarkan rahmatan lil'alamin.

Karena muara dari dakwah Islam adalah cinta kasih terhadap semesta, "kekerasan" juga bertujuan menjaga tali kasih sayang terhadap sesama. Jika Israel dengan arogansinya meluluh-lantakkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian, genderang perang untuk menandingi kekuatan lawan harus ditabuh.

Tentunya dibarengi perencanaan strategi yang matang. Artinya jihad fi sabilillah yang dikobarkan kelompok Islam di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia harus mempertimbangkan aspek maslahatul ummah. Jika ghirah jihad hanya menuruti nafsu primordialisme agama, sesungguhnya tidak memberikan kontribusi apa-apa.

Apakah jihad yang dimaksud ikut terlibat medan tempur ataukah bergerak di bidang kemanusiaan yang menyelamatkan kesehatan dan nyawa tentara dan rakyat sipil di Lebanon. Sejatinya, jihad Islam juga harus berlandaskan pada lima prinsip syariat (kulliyatul khomsah), yaitu menjaga agama (hifdzud dien), menjaga jiwa (hifdzun nafs), menjaga akal (hifdzul aql), menjaga harta (hifdzul mal), dan menjaga keturunan (hifdzun nasl).

Spirit jihad adalah spirit untuk menjaga dan menyelamatkan kelima prinsip utama tersebut. Wajar jika yang berjihad juga dituntut lebih dulu menjaga dan mempertimbangkannya.

Dalam konteks ini sebenarnya telah jelas batas antara terorisme dan jihad yang sering dimaknai ambivalen oleh pihak Barat. Membela dan mempertahankan keadilan (al adalah), kebahagiaan (as sa'adah), dan kesetaraan (al musawah) adalah hak asasi setiap manusia baik sebagai subjek agama maupun sebagai subjek negara demi cita-cita perdamaian dunia.

Terorisme adalah arogansi yang memusnahkan kehidupan orang lain, bangsa lain tanpa alasan yang logis. Nafsu menguasai dan dominasi yang membuat buta akan makna kehidupan, buta kasih sayang dan matinya signal dengan Tuhan Sang Pencipta.

Kesadaran akan makna jihad yang melahirkan perdamaian hendaknya juga didialogkan dengan pihak Barat. Karena tidak semua Barat sepakat dengan Israel dan Amerika yang adi kuasa. Dan tidak semua Israel dan Amerika mengumbar kebengisan terhadap negara-negara Arab.

Sesungguhnya Islam tidak di Timur dan juga tidak di Barat (la syarqiyah wala gharbiyah). Sehingga spirit jihad yang menyadarkan umat manusia di berbagai negara di dunia akan menyelesaikan krisis di Timur Tengah.

Dalam ranah ini, terorisme memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan: aksi dan ideologi. Drama teror ini menampilkan dua tokoh: aktor sebagai eksekutor aksi teror dan aktor intelektual yang membangun basis ideologi teror. Nah, ideologi teror tersebut ditanam oleh aktor-aktor intelektual yang sangat mahir memainkan ayat-ayat Tuhan untuk menggiring pemuda-pemuda tak berdosa sebagai pelaku terorisme.

Oleh karena itu, ulama ibarat pisau yang memiliki peran ganda: memotong kue bolu, atau menikam untuk membunuh. Di negara manapun, ketika marak terjadi aksi terorisme, pemerintah setempat menyerukan agar ulama-ulama agama berperan memerangi terorisme. Di Saudi Arabia ulama-ulama telah mengharamkan “bom bunuh diri”. Di Jordania, khatib-khatib Jumat diserukan mengutuk terorisme dan menyiarkan Islam yang damai. Demikian juga di Mesir, Pakistan, dan termasuk di Indonesia. Sebab-musabab seruan terhadap ulama itu -untuk memerangi terorisme- karena mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik): tidak sedikit dari ulama-ulama itu menjadi aktor intelektual dan mendukung terorisme. Seorang teroris dipastikan memiliki guru, dan balai pendidikan yang membentuk jiwa, pikiran, dan menunjukkan jalan terorisme itu.

Sederhananya, teroris-teroris itu adalah korban dari manusia—yang disebut ulama—tidak bertanggungjawab itu. Anehnya, ulama-ulama kharismatik itu hanya berani membakar kemarahan dan kebencian umat, tanpa memiliki keberanian berada di garis terdepan dengan membawa bom. Jangankan meledakkan dirinya, anak-anaknya pun tidak diajari untuk menjadi teroris dan melakukan pembunuhan. Mereka cukup mempengaruhi santri, tetangga, dan orang lain untuk melakukan aksi-aksi kekerasan.

Maka dari itu, seorang ulama memiliki peran vital terhadap terorisme. Peran itu dimulai, bagaimana mereka meracik dan menyuguhkan agama ada umat. Jika mereka menyuguhkan agama sebagai ajaran kebencian dan kekerasan, maka, agama akan menjadi kekuatan terorisme mahadahsyat. Agar tetap menarik dan laku, agama dikemas dan dipromosikan melalui pengajian, khutbah, pengkaderan, dan diiming-imingi janji-janji: mati syahid, kenikmatan kehidupan sorgawi dan menikahi bidadari.

Namun jika ulama konsisten mengemas dan menyuguhkan agama sebagai ajaran perdamaian, kerukunan, dan antikekerasan, maka, terorisme dan aksi-aksi kekerasan itu akan dianggap berlawan dengan ajaran agama itu sendiri. Diakui atau tidak, sebagai doktrin, setiap agama memiliki benih intoleran dan kekerasan. Misalnya: ada ayat-ayat perang dalam Al-Quran. Namun seorang ulama, tidak cukup hanya “membacakan”, dia harus memiliki keberanian untuk melakukan “pembacaan” dan “pengkajian”. Setiap agama harus disiangi dari rumput dan gulma kekerasan, sehingga agama menjadi lahan subur bagi perdamaian dan kerukunan umat manusia.

Jihad, tidak bisa didefinisikan sekedar berperang. Pemahaman tersebut telah melakukan “pengerdilan” terhadap ajaran jihad yang agung. Menurut seorang ulama kharismatik Syria, Dr. Muhammad Sa’id Ramadlan Al-Buthi, dalam bukunya al-Jihad fi al-Islam jika jihad diidentikkan sebagai perang, maka ajaran jihad akan kehilangan makna yang sebenarnya dan segala macam variasinya. Al-Quran sendiri tidak secara definitif memaknai jihad sebagai perang. Al-Quran menggunakan istilah al-qitâl sebagai padanan perang. Sementara jihad tetap kaya dengan multimakna dan multibentuk.

Dalam surat Al-Furqan ayat 52 yang turun di Makkah disebutkan, Karena itu janganlah turut orang yang kafir, dan berjihadlah melawan mereka dengan jihad yang besar. Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai; “jihad besar” (jihâd kabîr) ini? Menurut Ibn Abbas, konotasi jihad dalam ayat itu adalah dengan “Al-Quran”, menurut Ibn Zayd dengan “Islam”, dan ada yang berpendapat dengan pedang alias perang. Namum Al Qurthubi dalam tafsirnya al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân (1995: 56) menolak keras pendapat terakhir; “jihad dengan pedang”, karena ayat ini turun di Makkah, jauh sebelum turun perintah perang. Sedangkan makna “jihad yang besar”, menurut Al-Zamakhsyari dalam besutannya, Tafsîr al-Kasysyâf (1995: 278) mencakup segala bentuk perjuangan (jâmi`an likulli mujâhadah).

Seorang ulama fikih klasik Syatha’ al-Dimyati dalam “kitab kuningnya” I’ânah al-Thâlibîn mendefinisikan jihad sebagai aksi menolak marabahaya dan kekacauan serta berjihad untuk kemakmuran dan kesejahteraan: sandang dan pangan (daf`u dlararin ma’shûmin min muslimin jâ’i`in aw `ârin wa nahwihimâ). Jika mau konsisten, perang malah diperbolehkan oleh al-Quran untuk melawan “fitnah”: perangilah mereka sampai tiada lagi (timbul) “fitnah” wa qâtilûhum hattâ lâ takûna fitnah (QS al-Baqarah: 193). “Fitnah” di sini menurut mayoritas ulama tafsir bermakna segala kekacauan akibat, pengusiran, perampasan, dan pembunuhan. Kekacauan yang menebarkan ketakutan dan rasa tidak aman. Fitnah adalah terorisme. Jihad melawan terorisme berarti jihad melawan kekacauan yang berakar pada “fitnah” tadi. Sementara ulama adalah artikulator, penafsir: “lidah” agama, namun bukan berarti seperti Si Pahit Lidah, yang kerjanya, cuma mengumbar kebencian, dan kutukan. Karena agama bukan ancaman dan kutukan. Tantangan terbesar bagi ulama untuk, tidak hanya dituntut menjalankan agamanya secara benar, tapi juga menjaga agar agamanya tidak “dibajak” menjadi amunisi untuk membunuh.

read more “Rumah Opini_02”
Author: .
•03.21

SEPENGGAL TAKDIR

Awan mendung bertiup dan mulai bergemuruh di langit yang sebelumnya biru. Kilat dengan serta merta menyambar turun ke Bumi, dan baru beberapa detik kemudian suara guntur terdengar―menggelegar bagai dentuman meriam langit atau letusan gunung berapi yang memuntahkan magma serta debu vulkanik jauh ke angkasa. Tak sampai di situ saja pengaruhnya; awan itu juga menebar teror kegelapan dan seketika langsung merasuk, juga mencengkeram dengan membonceng ketakutan, hingga dapat melelehkan kebahagiaan yang tersimpan dalam frame-frame kenangan masa lalu.

Di padang rumput itu, seorang pria berdiri kokoh bagai patung di tengah kota. Di atas sebuah bukit kecil, di mana sepasang kakinya sejak tadi menapak—mengakar. Ia menatap ke langit, ke sebuah gumpalan awan yang makin menghitam tiap detiknya. Fisiknya yang tinggi dan ramping terlihat samar saat sekelebat cahaya petir menyambar dengan gila, merambat pada sela-sela udara yang berubah dingin. Rambutnya pendek dengan potongan rapih di tiap ujungnya dan bergerak lembut saat terbelai angin.

“Kau tidak adil padaku?” teriaknya entah kepada siapa.

Mungkin ditujukan kepada salah satu gumpalan awan di atas sana atau petir, atau bahkan untuk Sang Khalik pemilik segalanya—di mana wujud-Nya tak akan pernah nampak oleh sepasang indera yang dinamakan ‘mata’ itu. Tak akan mungkin. Tidak mungkin ada organ bahkan alat buatan makhluk manapun yang bisa melakukannya. Kecerdasan manusia itu terbatas. Semua telah diatur dalam sekat-sekat sel yang ada di otak.

“Mengapa Kau ciptakan takdirku seperti ini? Nasibku merana menjadi hamba terhina. Apa Kau tidak mendengar sebutan mereka padaku? Mereka bilang kalau aku ini tidak berguna, lemah, bodoh, goblok, tolol, monyet atau apalah istilah mereka.”

Kelopak matanya basah lalu mengeluarkan pilu yang menurut bangsa keturunan primata seperti manusia, dinamakan ‘air mata’.

“Di mata mereka, aku ini sangat rendah. Lebih rendah dari sampah. Cacat. Tak pantas berada di antara mereka,” jelasnya terisak.

“Sesungguhnya, mereka itu salah. Kau bisa lihat sendiri. Tak ada kecacatan dari fisik yang Kau ciptakan ini. Semua organku lengkap, otakku juga masih betah bersemayam di kepala, dan hati serta jantungku juga tetap pada tempatnya. Sama seperti mereka. Lalu mengapa mereka terus saja memanggilku seperti itu? Merendahkanku di muka umum? Apa yang salah pada diriku?”

Dengan punggung tangan, ia mengusap matanya.

“Mengapa Kau tetap diam? Apa Kau bisu? Tuli? Katanya, Kau selalu mendengarkan keluh-kesah semua hamba-Mu. Mana buktinya? Mana? Omong kosong. Semua itu ternyata bohong.”

Ia diam sesaat, mencoba mengatur tingkat emosi yang semakin meluap-luap dalam dirinya.

“Jika Kau memang adalah Sang Penguasa—raja di atas segala raja, buktikan padaku!” teriaknya makin kencang.

“Tunjukkan kekuatanmu! Mana kekuasaanmu!”

Ia menghela napas sekali, seakan ingin menyampaikan sebuah ultimatum yang harus terlaksana.

“Aku ingin punya sayap. Sayap indah yang bisa membuatku terbang dan tak lagi mendengarkan sebutan merendahkan mereka kepadaku. Aku ingin menjauh dari koloni mereka. Menjauh sejauh-jauhnya. Aku ingin terbang. Terbang seperti burung yang bebas di angkasa. Setinggi-tingginya hingga mencapai puncak awan.”

***

Pagi itu matahari belum menampakkan semburat sinarnya dari kejauhan ufuk timur. Tampaknya sang surya masih terlelap di peraduan angkasanya. Kabut semi transparan juga masih menguasai sebagian badan jalan di salah satu daerah paling padat penduduk di kota Jakarta. Tetes embun belum memuai menjadi uap air dan menyatu dengan udara, menyebabkan udara makin lembab. Sayup angin seakan menguak sebab keheningan di beberapa lorong sempit di perumahan tersebut. Makhluk-makhluk belum menampakkan diri. Masih bersemayam di balik selimut kehangatan.

Jam weker berbunyi nyaring—bergema di salah satu rumah bagai bunyi lonceng emas di puncak kuil Olympus, seakan meramalkan kejadian mengerikan yang nanti akan terjadi.

Ketika selimut disibakkan, tubuh setengah telanjang ada di baliknya. Deretan tulang rusuk tercetak di sana, bagai urat yang menonjol dari balik kulit. Laki-laki itu membuka mata. Sedikit demi sedikit, suasana sekitar mulai tertangkap oleh inderanya, menampilkan susunan langit-langit kamar berwarna putih dengan lampu ber-watt kecil yang masih menyala.

“Sudah pagi rupanya,” gumamnya sembari tersenyum saat kesadarannya tengah memulihkan diri. Kantuk yang masih terasa, ia paksa pergi dan menghilang. Sekarang waktunya melanjutkan hidup.

Sebelah tangannya mengambil weker yang ada di meja. Tombol weker yang ada pada bagian atas ia tekan, menyebabkan suara deringan benda itu berhenti seketika. Ia melihat jarum jam menunjukkan pukul 06.30 pagi. Weker diletakkan lagi ke tempatnya semula, sembari ia mencoba membangunkan tubuhnya yang masih malas bergerak. Digaruknya beberapa bagian tubuh hingga puas lalu dengan jari-jari tangan, rambutnya yang berantakan disisir seadanya. Sebagian ke samping kiri dan sebagian lagi ke samping kanan.

Sejenak, laki-laki itu menggeliat keenakan lalu menguap bagai sang penguasa rimba. Setiap bukaan mulutnya bagai menghisap ion-ion kehidupan yang ada di tempat itu hingga tak bersisa. Rakus sekali. Biasalah, manusia memang cenderung seperti itu. Tak puas atas apa yang telah dimilikinya. Ingin terus menambah, menambah, dan menambah.

Sinar matahari menerobos masuk melalui sela-sela tirai penutup jendela. Cahayanya menghangatkan kulit dan mencairkan keheningan. Seolah-olah kehidupan mulai tersusun kembali setelah tidur sekian lama, setelah berhibernasi dalam kegelapan. Menciptakan peradaban baru ke arah yang lebih baik. Semoga saja...

“Mimpi tadi benar-benar aneh. Aku seolah-olah berbicara kepada Tuhan. Bagaimana mungkin?” Lelaki itu nyengir sendiri.

“Tidak masuk akal.”

Namun jauh di lubuk hatinya, ia bener-benar menginginkan hal itu terjadi. Mimpi tadi seolah-olah mencerminkan isi hatinya. Menggambarkan kalut yang selama ini menyiksa batin dan jiwanya. Ia tak bisa berbohong lagi. Walau hanya di dalam mimpi, ia telah puas. Yang jelas, ia telah menumpahkan suara hatinya. Lainnya, tak penting. Hari ini harus dijalani dengan perasaan bahagia. Tak ada beban sedikit pun yang lagi menghinggap. Telah hilang dan menguap bersama embun.

Ketika ia berdiri, sesuatu seperti begoyang dari punggungnya—bergerak-gerak. Ia merasakan keanehan pada daerah itu. Kepalanya coba ditengokkan ke belakang. Secara reflek tangannya ikut membantu.

“A... apa ini?” teriaknya kaget. “Mengapa benda ini bisa melekat di tubuhku?”

Sepasang sayap kecil bergerak-gerak mengikuti gerakan punggungnya. Mengibas-ngibas bagai sayap burung yang terbang bebas di angkasa. Sepasang sayap itu berwarna hitam namun tak berbulu. Lembut dan menyerupai daging yang terbalut kulit dengan beberapa tonjolan tulang.

“I... ini sayap kelelawar,” gumamnya ketakutan. “A... apa yang terjadi? Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Mengapa... mengapa sepasang sayap menakutkan ini tumbuh di punggungku?”

Dengan paksa, ia mencoba melepaskan sayap itu. Sekuat tenaga. Namun setiap upaya untuk menarik sayap itu agar terlepas dari tubuhnya, membuat kulitnya sakit. Kulit punggungnya seperti tertarik dan hampir sobek. Hal itu sia-sia saja. Sayap itu telah bersatu dengan tubuhnya dan menjadi bagian atas dirinya.

Ia tak terima. Tangis dan teriakan tak ada gunanya. Semua itu tak bisa mengembalikan tubuhnya ke kondisi semula—normal kembali. Ia merenung beberapa menit ke depan ketika matahari kian meninggi. Sedikit demi sedikit ia bisa menerimanya walau tak sepenuhnya. Ia masih tak tahu harus berbuat apa.

Mungkin ini pengaruh dari mimpi itu. Aku benar-benar berbicara kepada Tuhan, gumamnya dalam hati antara percaya atau tidak. Dengan kesadaran yang telah kembali, ia berkata setengah berbisik.

“Hidup harus dilanjutkan. Tak ada gunanya penyesalan. Tapi...”

Dua puluh menit kemudian ia keluar dari kamar mandi. Mencari alat untuk menutupi sepasang sayap itu agar tidak kelihatan. Diambilnya gulungan perban kemudian dililitkannya benda itu ke punggungnya. Terus, terus dan terus, hingga tonjolan sayap itu tak tampak. Setelah selesai, lanjut ia mengenakan baju dalam lalu kemeja yang dikombinasikan dengan dasi berwarna hitam bergaris. Semua kostum formal itu diberi sentuhan terakhir dengan balutan jas. Ia berdiri di depan cermin, memperhatikan sejenak penampilannya lalu berputar beberapa kali. Walau tubuhnya terlihat sedikit bungkuk karena tulang punggungnya menonjol keluar bagai pasak, tapi tanda bahwa itu adalah sayap tak terlihat.

Aku terlihat seperti manusia normal kembali dan topeng ini akan membuatku menyerupai mereka. Bibirnya dipaksa mengurai senyuman. Ditepuknya bagian jas yang terlihat berdebu, simpul dasi dirapihkan dan disembunyikan di bawah kerah kemeja lalu setelah semua sesuai dengan keinginannya beberapa menit kemudian, pria itu mengambil tas kerja lalu keluar dengan langkah terburu-buru.

v

read more “Rumah Cerpen_01”
Author: .
•03.12

MATA AIR AIRMATA

Pada mata airmu yang hening

Pada airmatamu yang bening

Ijinkan sejenak mataku memandang kepiluanmu

tanpa berkedip

Hingga menembus ke dalam celah-celah sungai Nil-mu

yang mulai mengering

Februari, 2009


SEBELUM KAU PERGI

Sebelum kau pergi

Ku ingin kau tersenyum

Di depan mataku yang rapuh

Agar nantinya kau tak sedih

Ketika menapaki jalan yang terjal

dan penuh liku

Sebelum kau pergi

Ku ingin menuliskan lembaran kisah

Pada lembayung sukma jauh

Agar ia menjadi saksi bahwa babad hari ini telah mengalun perih

diantara kebisuan yang lestari,

bersimpuh manis dalam dekapan mimpi dan sejarah

Dan esok seolah gaib yang tertata

yang tak tembus oleh hati, mata dan airmata

Sebelum kau pergi

Ku ingin mengenangmu

dan terus mengenagmu

Hingga malaikat itu

hinggap di pangkuanku

dengan sebait sabda

yang tak bernada

Februari, 2009


KEPADA AIR

Kepada air

Hasratku mengalir

Di antara celah bumi

yang kau pijak

Kepada air

Anganku menetes

Di atas kedalaman

Lautan kasihmu

Kepada air

Ku ingin hasratmu mengalir

Pada anganku yang berair

Februari, 2009


SEBUAH PENGKHIANATAN

Kau tersenyum seperti iblis

Yang berhasil membius manusia

dengan segelas anggur

Menghapus manis sentuh bibir yang pernah kau kecup

mengurai cinta yang erat ku balut

hingga lelah letih meredup

Kau goreskan kepedihan di setiap harapan

Kau redupkan angan di setiap impian

Hingga aku terhuyung arus penderitaan

Ku akui….

Kau memang tawaddhu’, tertunduk

Tapi jidadmu bertanduk

Otakmu sangat cerdik, tapi hatimu licik

Jutaan manusia telah kau cekik dengan jemarimu yang lentik

Februari, 2009


SKEPTIS

Malamku pilu

Siangku penuh liku

Malam siangku bisu

Engkaupun terharu

Siangku kelu

Malamku semu

Siang malamku menunggu

Hingga wajahmu membiru

Tuhan…

Jangan panggil aku

Ketika dosaku seperti debu!!

Februari, 2009


REMBULAN MERAH

Tuhan, Rembulan itu tampak memar

Di atas jembatan takdirku yang malang

Februari, 2009


LEMBARAN SEJARAH

Kau pernah menuturkan

Bahwa kereta tua itu peninggalan sejarah masa silam

Yang di dalamnya tersimpan hentakan tetes waktu yang tak pernah berhenti

setiap tetesnya menoreh sejarah kehidupan baru dan kematian setiap

makhluk

Kau pula pernah menuturkan

Bahwa kereta tua itu terlalu mesra terjebak dalam sketsa masa lalu

Hingga kini ia harus terjerembab dalam sampah peradaban

Siapa peduli mengais cerita kesengsaraan?

Bila kau merenungkan bahwa sejarah masa silam

Mengaung syahdu diantara kepalan-kepalan takdir yang telah dikebiri

Semuanya telah tergadaikan

Lagu kebangsaan tak lagi kebanggaan. Ia justru menjerit dalam kebangkrutan

Februari, 2009

read more “Rumah Puisi_03”