Author: .
•19.42
MEMBENDUNG PENEGAKAN SYARI’AH DAN KHILAFAH 
DI INDONESIA

Oleh: Malthuf Ready )*

Meskipun perbincangangan khilafah bukan hal yang baru, tetapi efek dan gejala yang ditimbulkannya tetap menjadi sesuatu yang hangat untuk diperbincangkan. Khilafah akhir-akhir ini menjadi tema pembicaraan aktual yang ramai di bahas dalam forum dan kesempatan, pembicaraan tersebut berusaha mendiskripsikan konsep khilafah dari berbagai sudut pandangan, tergantung dari motif yang mewarnai kepentingan mereka. 
Beberapa waktu lalu kalangan politik dari partai politik Islam tertentu membuka perdebatan publik dengan tajuk upaya memasukkan kembali tujuh kata “...dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya“ ke dalam Preambule UUD 1945. 
Hal tersebut memang terkesan sangat ahistoris, mereka seakan melupakan fakta sejarah bahwa perdebatan di parlemen tahun 1950-an tentang apakah Islam atau Pancasila yang “ seharusnya“ menjadi landasan konstitusi telah menguras segala daya bangsa ini. Diketahui bahwa kelompok Islam militan memiliki preferensi terhadap institusi khilafah dibandingkan dengan institusi kepresidenan yang dihasilkan oleh sistem ketatanegaraan modern, preferensi seperti itu berangkat dari asumsi bahwa institusi khilafah memiliki otoritas kelembagaan yang secara hukum mengikat karena khilfah yang di buat dan dilakukan pada masa ideal Islam (the islamic era par-excellence) merupakan wujud dari sebuah tatanan politik ideal, dengan memberlakukan kembali institusi khilafah, maka kehidupan bernegara kaum Muslim di zaman modern ini akan berada di bawah payung kelembagaan politik Islam yang autentik, pandangan yang semacam ini tentu sangat sulit di carikan landasan argumentasinya, berbagai data historis menunjukkan bahwa khilafah sebenarnya tidak termasuk bagian dari doktrin keagamaan, tetapi kategorinya masuk ke dalam institusi sosial, sebagai institusi sosial, konsep khilafah selalu berubah secara dinamis, mengikuti dinamika sosial yang terjadi sekarang. 
Di Indonesia masih terjadi pro dan kontra tentang gerakan khilafah, ini bisa kita lihat pasca digelarnya konferensi khilafah internasional di Stadion Glora Bung Karno pada tanggal 12 Agustus 2007 lalu yang memicu terjadinya perdebatan, bagi yang pro yang menganggap bahwa syari’at Islam adalah solusi terhadap persoalan bangsa, sedangkan yang kontra malah sebaliknya semakin ‘gerah’ dengan adanya syari’at dan khilafah. 
Ada beberapa hal yang sebenarnya sudah dilakukan mereka (Gerakan Pro syari’at). Mereka secara taktis sudah merasuki Umat islam dengan membawa bendera baru islam. Selain itu juga, mereka ada dalam ranah politik. Namun, mereka masih saja meresahkan adanya penghalang yang dapat membendung penegakan syari’at islam. 
Faktanya, Jika dibuka lagi beberapa pernyataan dan rekomendasi dari lembaga think thank yang memberikan nasehat kepada pemerintahan AS, baik Nixon Center, Zeno Baran, The Haritage Foundation maupun ICG maka kita akan temui minimal 4 asumsi strategi yang mereka susun untuk membendung (tidak mendukung) gerakan Syari’ah di Indonesia. Asumsi ini ada dalam pandangan yang Pro terhadap syari’ah. Versi pembendungan gerakan syariah dilakukan oleh orang yang tidak sepakat Khiafah didirikan di Indonesia.
Pertama: Publikasi dan propaganda opini sekaligus pemikiran yang seolah-olah dari Islam namun sebenarnya sangat jauh dari pemikiran Islam, bahkan dikatakan tidak ada akarnya dalam Islam, seperti Hak Asasi Manusia (HAM), Feminisme, Pluralisme, dan lain-lain . Targetnya bukan hanya membuat rancu pemikiran Islam namun lebih dari itu, yaitu “melenyapkan“ Islam itu sendiri. 
Sebagai contoh, munculnya pemikiran negara sekuler sebagai bentuk negara yang harus dipaksakan kepada seluruh kaum Muslim dan menyerukan penafian atau tidak mengakui kekhilafahan global (sistem pemerintahan Islam Global). Jelas ini adalah bentuk ‘pembunuhan‘ terhadap pemikiran Islam itu sendiri. Yakni menolak, sesuatu yang berasal dari nash namun di sisi lain mengajukan suatu argument yang tidak berasal dari nash namun di bungkus dengan dalil.  
Asumsi ini terkoptasi bagi para orang-orang pendukung syari’at islam, mereka masih menyangka bahwa islam tidak mengajarkan kebebasan dan Hak Asasi Manusia yang secara fitrah adalah Sunnatullah dan Nabi. Dalam alur Sejarah, Muhammad terlahir kedunia untuk memberikan hak-hak manusia kepada dirinya. Disatu sisi sang revolusioner dunia itu juga mengedepankan Hak Perempuan dalam ranah Islam. 
Sebagaimana rekomendasi The Nixon Center, bahwa untuk membendung gerakan syari’at perlu dilakukan pengajaran Islam dimana mengijinkan pemikiran sekolah non-Islam untuk diperkenalkan ke kaum Muslim Barat. Selain itu juga di upayakan juga menciptakan ‘Ulama terdidik’, maksudnya adalah menciptakan ulama yang berasal dari Islam namun secara sejarah telah toleran. Ulama harus tahu bentuk tentang HAM, pluralisme, dan lain-lain. 
Dan selayaknya bagi umat Islam Indonesia sudah harus mengetahui bahwa apa yang ada dalam al-Qur’an lebih banyak hal toleransi bukan memaksakan kehendak. Pada surat al-Kafirun Misalnya, merupakan ayat yang mengandung toleransi yang cukup tinggi. Tidak perlu bagi kaum muslimin untuk memaksakan suatu agama terhadap orang lain. Biarlah, agamaku (islam) dan agama mereka (selain Islam). Ini menjadi bukti kongkret bahwa islam juga mengajarkan kebebasan dalam memeluk agama. 
Asumsi islam tidak mengajarkan HAM dan lain sebagainya, seperti yang disangkakan adalah hal yang salah. Propaganda yang selayaknya dilakukan oleh orang Muslim adalah mebentuk opini bersama bahwasanya islam adalah agama toleransi dan al-Qur’an mengajarkannya. Cukup banyak contoh tentang hal tersebut. 
Kedua: Memunculkan tokoh-tokoh anti syari’at, baik dari kalangan sekuler maupun Islam. Dalam kasus ini, Amerika Serikat senantiasa mendorong penguasa untuk tidak saja menghancurkan Islam yang dianggap ‘radikal’ tapi juga mempromosikan alternatif-alternatifnya. Artinya, tokoh-tokoh pro syari'ah diberi stigma buruk, sedangkan yang menentang Syari’ah justru dipuji-puji. Pencitraburukan terhadap tokoh yang pro Syari’ah terus dan dilakukan. Walaupun sudah terbukti secara hukum bahwa Ust. Abu Bakar Ba’asyir –misalnya- tidak terbukti melakukan dan menjadi otak terorisme di Indonesia, namun upaya-upaya untuk melebelkan beliau dengan tindak terorisme masih terus dilakukan. 
Stigma agama teroris sebenarnya dibuat sendiri bukan malah negara atau konstruksi eropa atau Amerika. Pemahaman yang dangkal akan makna jihad adalah latar belakang terjadinya kekerasan berlabelkan agama. Contoh gampangnya adalah majalah serta seruan untuk berjihad. Di Idonesia ada Jihadmage yang selalu memberikan arahan bagi umat Islam untuk ikut campur dalam hal peperangan yang sebenarnya bukan agama melainkan adalah persoalan Negara dan Politik ekonomi belaka. 
Stigma lainnya, dikala para Ulama’ dengan jelas menyerukan penyerangan terhadap orang yang beragama lain. Ini terbukti dengan timbulnya tindak kekerasan yang melabelkan Jubah dan Baju putih. Greet Wilder menimbulkan Islam sebagai agama kekerasan, diakibatkan banyaknya imigran yang ada di sana, sehingga kekuasaan politik liberal akan tertindas. Tanpa ajaran toleransi dan memaksakan syariah dalam Negara yang terbentuk bukan negara islam maka hal nihil dilakukan. 
Ketiga: klasifikasi kelompok Islam dan adu domba, klasifikasi yang dimaksud adalah untuk semakin mempersempit dan mengotak-atik Islam dan umatnya sehingga dengan mudah di adu domba. Seperti moderat-radikal, Tradisional-modern, kultural-struktural, fundamental-abangan dan masih banyak lagi lebel yang lain. Islam moderat akan mudah berhadapan vis a vis dengan radikal, mereka dengan mudah disulut perselisihannya. Secara tegas, Ismail Yusanto (Juru bicara HTI) berpendapat bahwa syari’at Islam adalah solusi atas berbagai ancaman disintegrasi bangsa, sebab syari’at Islam akan menggantikan sekularisme. Di mana sekularisme sudah membuat celaka negeri ini. Justru yang mengancam adalah sekularisme dan kapitalisme global. Fakta sudah nyata, ukhuwah justru akan mensolidkan negara dari ancaman separatisme yang mengancam. Bentuk separatisme, seperti RMS dan papua merdeka itu yang mengancam, bukannya Khlafah. Khilafah malah akan menyelamatkan NKRI dari kehancuran. 
Lagi-lagi ini adalah asumsi pendorong Syari’at di Indonesia. Labeling islam di Indonesia adalah penelitian (research) tersendiri dalam ranah sosial dan ilmiah. Dalam Islam, sebenanya sudah banyak kelompok-kelompok islam yang mempunyai epistemologi berbeda dalam menafsiri dan mengartikan al-Qur’an. Pasca nabi wafat, Syi’ah dan ahlusunah wal jama’ah mempunyai metodologi tersendiri. Syi’ah, mu’tazilah cukup kuat dalam akalnya, sedangkan ahlussunah cukup kuat dengan treferensi al-Qur’an. Labeling yang disangkakan akan menjadi gangguan terhadap kaum Muslim juga sama diciptakan sendiri oleh kaum Pro syari’ah. Apa yang dilakuka para peneliti merupak deskribing bagi umat islam memilih dan memilah keberagamannya. Penelitian itu juga dilakukan untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat layaknya, lebih banyak mengetahui sebuah tendensi perilaku sosial. Sama seperti yang dikatakan Emile Durkheim, kesadaran kolektif tidak akan terbangun kalau hanya dibangun oleh satu agen. 
Menganggap khilafah penyelamat NKRI juga sudah salah. Kekhawatiran yang terjadi bagi Umat Islam yang ada di Indonesia adalah NKRI merupakan pemersatu bangsa sekaligus agama. Tidak mungkin kemudian digantikan Khilafah atau syari’at islam yang didalamnya akan ada aturan pengikat antara agama yang satu dengan yang lainnya. Di dalam islam masih ada istilah kafir dzimmi dan harbi. Namun, Indonesia tidak mempunyai itu. Sikap pemerintah mengunakan model sekularisme adalah hal yang cocok buat indonesia. Ini bukan arab yang semuanya ber-agama islam.
Di Mekkah nabi Muhammad membawa islam sebagai agama minoritas disaat itu pula Nabi melakukan Hijrah Ke madina. Di madina Nabi tidak serta merta menciptakan negeri dengan bendera khilafah, melainkan membuat Undang-Undang Madinah (piagam Madinah) yang diakui membumikan sebuah toleransi di sana.  
Keempat : peran negara, melalui beberapa peraturan dan Undang-undang yang dikeluarkan yang sangat kontraproduktif dengan Islam, seperti wacana kembali ke azaz tunggal (Pancasila), UU Teroris, UU KDR, RUU Pornografi, RUU Politik, dan lain-lain. Founding father Indonesia, Soekarno memang sudah mencetuskan pancasila sebagai azas tunggal. By unity pancasila mereka bisa berkumpul dan berada dalam forum sama tanpa meresahkan dirinya sendiri. Negara mengembalikan azas Indonesia kepada Pancasila bukan berarti melanggar aturan Islam. Namun, negara kita adalah sebagai negara Islam.  
Siapa Membendung siapa ? 
Dengan semangat kebangkitan nasional dan hari lahirnya pancasila. Seraya mengingatkan kita, untuk menghidupkan kembali bahwa indonesia terbangun bukan dari Islam, melainkan satu asaz kesamaan yang berindikasikan sebuah kehidupan majmuk dan pluralis. 
Memaksakan Indonesia menjadi islam adalah nihilisme belaka. Tidak mungkin kemudian islam akan berjaya kalau hanya dibanggakan melalui satu arah normative belaka. Pasalnya, islam mempunyai ajaran yang cukup universal. Bukan yang selalu disangkakan untuk dapat menolak bentuk konsep subuah negara. Indonesia adalah contoh bagus, bagaimana keberagaman sangat dihargai bukan keseragaman yang diinginkan. Undang-Undang sudah menekankan bahwa kebebasan adalah hak setiap orang.
Abdullah Ahmad Na’im adalah tokoh Kontemporer dalam ranah pemikiran Islam, dalam pemikirannya dia mengutip banyak tentang pemikiran Taha yang salah satunya adalah menyetujui untuk mengabaikan ayat madaniyah dan mendahulukan ayat-ayat makkiyah. Karena dalam ayat-ayat makkiyah mengandung pesan Abadi dan Fundamental yang menginginkan egalitarianisme seluruh umat manusia. Jelas, sangkaan Islam tidak mengajarkan kesamaan dan pluralisme tidak bisa kita lihat dalam kondisi di Madinah yang sudah menguasai dan menciptakan kekuasaan sebagai bentuk negara Islam.
Islam tidak mengajarkan HAM, Feminisme, Pluralisme agama ini semuanya ditunjukkan dalam ayat-ayat madaniyah. At-Taubah : 29, An-Nisa’ : 34, al-Anfal : 39. Semua ayat ini merupakan landasan bagaimana kemudian islam diartikan sebagai agama yang tidak relevan dalam bentuk Hukum banyak visualisasi dan lain sebagainya. Padahal kalau melihat ayat-ayat makkiyah, Islam berada dalam kondisi yang cukup kuat untuk dapat menerima. Isue nabi Muhammad mengangkat derajar Perempuan, Mengembalikan Hak-Hak Manusia. Serta keseragaman tanpa pemaksaan untuk menganut Islam. Indonesia juga sama mempunyai hubungan internasional yang cukup kuat dengan negara lainnya, tidak lah sama pada keadaan di Madinah. Menggunakan Sistem Khilafah akan membuat blunder keagamaan. Karena Hukum islam masih banyak yang deskriminatif. 
Fungsi negara Indonesia saat ini adalah mewaspadai keberadaan Negara dibawah kuasa negara (negara Islam, meski hanya berbentuk organisasi kecil layaknya NII,). Para umat islam yang mau membedakan keberadaannya, selalu akan memaksakan idea khilafah. Publikasi dan opini parsial malah lebih banyak dilakukan oleh mereka ketimbang publikasi yang dilakukan penyokong pluralisme. Sebut saja, rekrutment masa lebih banyak dilakukan orang-orang kanan (penyokong khilafah) ketimbang para pengikut Islam ala Indonesia. 
Publikasi pada setiap jum’at dan pemberian ceramah sudah banyak dilakukan dengan rekonstruksi opini bahwa kebobrokan Indonesia karena masih bergantung pada negara orang salib (eropa amerika) dan saat Islam berdaulat. Padahal, kedaulatan negara berada dalam kedaulatan Pancasila dan Undang-Undang Negara bukan pada Islam. 
Akhirnya, dalam kasus ini, Pancasila harus tetap terjaga untuk menjadi alat integritas sosial, layaknya yang sering dikomandangkan para Tokoh agama, Frans Magnis Saat di Interview Al-Fikr, dia mengatakan bahwa cukup pancasila saja. Sedangkan Gus Dur malah mengherankan Gerakan menggantikan Asaz kesatuan dengan Agama. Begitu pula Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa Islam Yes, Syari’ah No. 
Kebangkitan Indonesia benar-benar akan menjadikan negara Indonesia sebagai negara kesatuan, anti kekerasan baik agama dan ultimatum kebebasan berpendapat dan berekspresi sesuai Undang-Undang dan Pancasila yang menyediakan keadilan bagi seluruh rakyat, tanpa mempertimbangkan dari kalangan, agama serta minoritas atau mayoritas. Lahirnya pancasila, juga menjadikan ingatan bahwa Indonesia sudah punya identias negara dan tidak perlu memberikan identitas baru bentuk Khilafah Islam atau lainnya.

)* Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura. Saat ini menjabat sebagai Koordinator Lingkar Pena Mahasiswa Surabaya. 
read more “Membendung Penegakan Syariah dan Khilafah di Indonesia”
Author: .
•10.50
Dear: M I L A
Oleh: MALTUF READY

MILA, begitulah orang-orang di sekelilingnya memanggil namanya. Sebuah nama yang cukup sederahana sama seperti kepribadiaan yang dimilikinya. Sikap yang lemah lembut, ramah, suka menolong orang lain merupakan ciri khasnya. Ia selalu tampil apa adanya. Tidak seperti gadis-gadis lain pada umumnya. Namun orang-orang di sekitarnya begitu menyayanginya, lebih-lebih keluarganya. Mereka memperlakukan Mila sama seperti anak perempuannya sendiri.

Sejak ayahnya pergi, ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Ia depresi. Oleh karenanya, Mila harus banting tulang untuk menghidupi keluarganya karena ia adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Kedua saudaranya masih kecil. Tidak tahu apa-apa. Meskipun usianya masih terlalu muda namun Mila harus mengemban beban hidup yang cukup berat. Ia harus membiyayai sekolah adik-adiknya, juga harus membiyayai pengobatan ibunya.

Sudah menjadi kebiasaannya, setiap pagi, Mila pergi ke sawah yang ia miliki. Ia bekerja layaknya petani pada umumnya. Bekerja keras di bawah terik matahari yang menyengat. Ia tidak kenal lelah meskipun sesekali ia berhenti untuk mengelap keringatnya yang berleleran di dahi dan lehernya dengan ujung baju lengan panjang yang kini tampak agak basah oleh keringatnya. Caping petani dengan setia bertengger di kepalanya. Senyum terukir sekilas pada ujung bibirnya saat matanya memandang tak sengaja pada sebuah pohon pisang yang berdiri tegak di ujung lahannya.

Tak terasa siang telah tiba. Mila segera berkemas untuk pulang meskipun pekerjaannya belum terselesaikan. Tak terlihat sedikitpun rasa lelah meskipun wajahnya tampak kumuh dan berantakan. Ia tetap bersemangat dan tegar untuk melanjutkan pekerjaan yang ada di rumahnya. Bahkan ia melakukan pekerjaannya dengan senang hati. Begitulah hari-hari yang dilaluinya penuh dengan kesibukan hingga tak ada waktu luang untuk beristirahat di siang hari. Tuhan, berikan aku kemudahan untuk melakukan apapun yang aku inginkan. Katanya.
* * *
Suatu hari, Mila tidak kembali ke rumahnya. Saudara-saudaranya menangis tersedu-sedu. Maklum mereka masih terlalu kecil. Sementara ibunya tak bisa berbuat apa-apa karena dia masih shock sejak ditinggal pergi oleh suaminya. Orang-orang disekitarnya berduyun-duyun mendatangi sebuah rumah kecil yang menjadi tempat tinggal Mila sekeluarga. Mereka tampak panik. Seperti halnya seorang ibu yang sedang mencari anaknya. Mereka hanya saling bertanya antara yang satu dengan yang lain. Namun tak ada yang tahu dengan keberadaannya. Lalu orang-orang yang berada disana tak berpikir panjang lagi, Mereka langsung menuju sebuah tempat di mana Mila bekerja, tapi mereka tak dapat menemukan apa yang mereka cari. Tak lama kemudian, kabar tentang hilangnya Mila sudah menyebar ke seluruh pelosok di desa itu.

“Kak Mila, kau dimana?.” Ucap adiknya seraya menangis. Isak tangisnya mengalun perih diantara rumah kecil yang tak begitu lestari. Bersimpuh pahit dalam dekapan hangat seorang ibu yang tengah mengalami depresi. Ia tak dapat berbuat apa-apa selain menangis. Tiba-tiba seorang perempuan setengah baya menghampirinya. Perempuan setengah baya itu adalah bu Nur, seorang janda yang sudah bertahun-tahun ditinggal suaminya. Ia memiliki nasib yang sama seperti ibunya Mila. Namun ia tidak memiliki keturunan. Oleh karenanya, perempuan itu begitu menyayangi Mila dan adik-adiknya. Bahkan perempuan itu menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. “Sudahlah Nak! Sebentar lagi kakakmu pasti akan pulang”. Katanya sambil mengelus-ngelus rambutnya.
Esok harinya, terdengar kabar dari seorang pengembala kambing. Katanya, ada seorang perempuan terbaring di sebuah hutan kecil yang tak jauh dari perkampungan itu. Ia terkulai lemas tanpa busana sehelaipun. Warga yang ada di perkampungan itu panik mendengarnya, lebih-lebih kerabat Mila. Dengan segera, mereka berbondong-bondong menuju ke hutan itu. Setelah sampai di hutan, mereka melihatnya dengan mata terbelalak setengah tidak percaya. Ternyata perempuan di hutan itu adalah Mila. Mila yang sejak kemarin hilang. Di sekitarnya terdapat bekas-bekas pemerkosaan. Entah siapa yang memperkosanya. Tak ada yang tahu. Lalu, beberapa orang diantara mereka segera mengangkat tubuh Mila dan membawanya pulang ke rumahnya. Di rumahnya, Mila disambut dengan tangis yang menderu-deru. Kedua adiknya yang masih kecil histeris. Sementara ibunya terlihat lemas, tak berdaya. Kelopak matanya basah lalu mengeluarkan pilu yang menurut bangsa keturunan primata seperti manusia, dinamakan airmata.

Tiba-tiba sepi menyelimuti rumah itu. Langit tidak tampak cerah. Angin berdesir perlahan dengan sayup-sayup tidak menggairahkan. Semua orang yang ada di rumah itu terdiam. Membisu. Namun, mereka tetap setia menunggu Mila terbangun dari mimpi buruknya. Di dekatnya, bu Nur menjaganya sambil membelai-belai rambutnya yang lurus terurai.
“Mila, Kenapa harus namamu yang tertulis dalam lipatan takdir Tuhan. Kenapa pula di usia muda ini kau harus bersahabat dengan musuh semua perempuan. Perempuan manapun tidak akan pernah menginginkan terlibat dalam cerita kesengsaraan ini. Bila kau menuturkan bahwa babad hari ini mengalun perih diantara kehidupan yang telah dikebiri. Semoga kau tetap tegar dan sabar dalam mengarungi kehidupan ini.” Bu Nur berkata dengan nada lirih. Wajahnya tampak memerah. Seolah ia ingin melampiaskan sesuatu pada orang yang telah membuat Mila terbaring tak sadarkan diri.

Menjelang sore, Mila kembali sadar. Ia siuman. Semua yang ada di tempat itu sedikit lega meskipun hatinya tersayat-sayat. Dengan segera mereka langsung meghampiri Mila untuk menanyakan keadaannya. Tapi, Mila malah berteriak dan menutup wajahnya dengan jari-jarinya. Jangan…jangan…jangan!!. Ucapnya. Tampaknya ia mengalami trauma dengan kejadian yang telah menimpanya kemarin. lalu dengan segera bu Nur menghampirinya. “Mila, ini bu Nur,!.” Katanya seraya menenangkan.
Rasa kecewa selalu datang ketika hidup ini berbenturan dengan realitas. Sama halnya dengan kehidupan yang tengah di jalani Mila saat ini. Hari-harinya berubah pucat pasi. Tak ada gairah dalam hidupnya. Ia selalu murung. Harapannya untuk menjadi seorang perempuan telah memudar. Semuanya telah hancur. Ibarat kerajaan yang tengah mengalami kekalahan akibat pertahanan terakhirnya telah hancur lebur.
* * *
Pagi itu matahari belum menampakkan semburat sinarnya. Tampaknya sang surya masih terlelap di peraduan angkasanya. Kabut semi transparan juga masih menguasai sebagian badan jalan. Tetes embun belum memuai menjadi uap air dan menyatu dengan udara, menyebabkan udara makin lembab. Sayup angin seakan menguak sebab keheningan di beberapa lorong sempit di perkampungan tersebut. Makhluk-makhluk belum menampakkan diri. Masih bersemayam di balik selimut kehangatan.
Tiba-tiba seperti ada yang menggiring Mila untuk melangkah. Ia tidak tahu pasti apakah ia berjalan di atas tanah, atau di udara. Yang ia rasakan tubuhnya begitu ringan, seolah melayang-layang. Lalu, ia tiba di suatu tempat, entah dimana. Ia tidak mengenalnya. Ia tercengang di tempat itu. Ia berdiri bak patung di tengah kota. Tatapannya tertuju pada sebuah bukit kecil yang tak jauh dari pandangannya.

“Kau tak adil padaku.” Teriaknya dengan lantang. Entah kepada siapa ucapan itu ditujukan. Tak ada yang tahu selain Tuhannya. Pada bibirnya tersungging kekecewaan yang begitu mendalam. “Kenapa Kau ciptakan takdirku seperti ini. Nasibku merana menjadi hamba terhina. Apa Kau tidak melihat perbuatan mereka padaku.” Lanjutnya. Ia diam sesaat, mengatur tingkat emosi yang semakin meluap-luap dalam dirinya. Sesekali ia mengusap matanya dengan punggung tangannya.
“Kenapa kau tetap diam. Apa kau bisu, tuli. Katanya, kau selalu mendengarkan keluh kesah semua hamba-Mu. Mana buktinya. Jika Kau memang adalah Sang Penguasa raja di atas segala raja, buktikan padaku!”. Teriaknya makin kencang. Kini, Mila berubah drastis. Dulunya dikenal sopan, ramah dan suka menolong orang lain tapi saat ini ia begitu hingar-bingar. Tidak seperti Mila yang tinggal di perkampungan itu. Tampaknya ia tidak terima dengan kenyataan buruknya. Ia tidak sanggup lagi untuk mengangkat wajahnya di depan orang lain. Tangis dan teriakannya tak ada gunanya karena tak akan bisa mengembalikan tubuhnya ke kondisi semula. Ia merenung beberapa menit ke depan ketika matahari kian meninggi. Dengan tenang ia kemudian menatap awan yang berkelebat di atasnya. Lalu, dengan cepat ia menjatuhkan tubuhnya ke sebuah jurang yang terletak di samping kirinya. Ia merengang. Tubuhnya tergeletak bermandikan darah. Darah itu kemudian mengalir ke seluruh penjuru.

Surabaya, 220509
read more “Rumah Cerpen 04”
Author: .
•21.45
KETIKA HIDUP HARUS DIPERTAUTKAN
Oleh: Maltuf Ready *

Kehidupan ini begitu membosankan. Orang-orang di sekeliling aku selalu mentertawakanku, mengejekku. Katanya, aku stres, gila dan sebagainya. Aku tak tahu apa tujuan mereka menghinaku seperti itu. Sejenak, aku mulai memperhatikan seluruh pakaianku, penampilanku, biasa-biasa saja. Tidak seperti layaknya orang gila. Apa sebenarnya yang salah dalam diriku. Aku benar-benar bingung.

Esok harinya, aku mengalami nasib yang sama seperti kemarin. Tapi kali ini aku benar-benar jengkel dan dibuatnya marah. Marah karena mereka begitu antusias untuk menghujatku, mempermalukanku di depan umum hingga aku tak sanggup lagi mengangkat wajahku. Aku menjadi terasing di negeriku sendiri. Entahlah, hanya tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka. Aku hanya bisa berharap suatu saat aku bisa menggapai sejuta keinginan dari sisa hidupku ini.

“Kau tak akan pernah bisa menggapai kesmpurnaan itu, karena kesempurnaan hanya milik tuhan”. Ia berkata dengan acuh tak acuh. Pada bibirnya tersungging senyum tipis seolah menyimpan tawa melihat keberadaanku. Aku hanya terdiam. Aku tak kuasa berontak karena aku hanya seorang diri, sementara mereka sudah menjadi komunitas kecil yang disegani banyak orang. Katanya, komunitas itu merupakan tempat berkumpulnya orang-orang cerdas. Kuakui, mereka memang cerdas karena mereka rajin membaca buku dan berdiskusi. Tapi aku tak suka dengan keberadaannya karena mereka seringkali mendahulukan egoisitasnya daripada intelektualitasnya.

Ah, menjenuhkan sekali hari ini. Aku tak pernah bermimpi sebelumnya kalau semua ini akan terjadi seperti ini. Aku tak habis pikir, Kenapa mesti aku yang disalahkan. Kuakui, dulu, aku memang pernah menjadi bagian dari komunitas itu, tapi sekarang aku harus pergi untuk menggapai cerahnya masa depanku. Aku meninggalkan mereka hanya untuk mencari esensi kehidupan. Salahkah bila aku menentukan hidupku sendiri demi kesempurnaan hidup. Salahkah pula bila aku menempuh jalan yang berlainan tapi tujuannya sama. Memang, kita dilahirkan dari ibu yang sama, yakni ibu pertiwi. Tapi akankah kita harus sama dalam segala hal. Bukankah Muhammad dahulu pernah bilang, bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Perbedaan-lah yang bisa membuat hidup ini terasa lebih indah. Apakah kau tak merasakan itu? Gumamku.
* * *
Tiga hari kemudian, sehabis kuliah, tiba-tiba aku dipanggil seorang lelaki ke salah satu kantor UKM di kampusku. lelaki itu adalah Andri yang merupakan manajer di komunitas itu. Di sampingnya, duduk seorang lelaki berambut agak panjang. Ia adalah sekretarisnya yang selalu setia menemani Andri kemanapun ia pergi. Aku kenal meraka sejak pertama kali aku mengikuti diskusi pada pertangahan tahun 2007 lalu. “Akhir-akhir ini kau semakin aneh, apa yang sebenarnya terjadi? Katanya sambil membetulkan duduknya. Aku hanya terdiam. Aku tak bisa mendongakkan kepala karena bagaimanapun pasti aku yang salah di mata mereka. Dan bahkan mereka akan mengecapku sebagai pengkhianat karena aku telah melanggar komitmen yang telah disepakati bersama. “Kenapa kau nekad lari dari komunitas kami. Apakah kau bisa menjamin hidupmu akan lebih baik setelah kau keluar dari komunitas yang telah kita bangun bersama dengan susah payah?”. Lanjutnya.

“Aku tidak pernah bimbang dengan tekad yang kupilih karena ini adalah hasil ikhtiarku. Aku pergi karena aku menginginkan kesempurnaan hidup. Aku ingin mengejar cita-citaku. Salahkah bila aku menginginkan yang terbaik buat aku, kita, bangsa dan negara. Tidakkah kau ingat pesan para leluhur kita, bahwa kita adalah penerus bangsa dan negara, dan di tangan kita tergenggam arahnya. Kita hidup di dunia ini dengan mengemban berjuta-juta tanggung jawab. Sadarkah kau akan hal itu?”. Ucapku seraya meyakinkan. Kulihat lelaki yang tidak lain adalah Andri itu hanya terdiam sembari menundukkan kepalanya. Sepertinya, ia sudah mulai paham dan menerima semua penjelasanku. Hatiku lega seketika, ternyata Andri masih tetap bijaksana seperti dulu. Seperti halnya ketika aku masih menjadi bagian dari komunitasnya. Andri memang sosok yang bijaksana. Ia tidak pernah pilih-pilih teman. Dan juga tidak pernah memihak ke siapa-siapa ketika aku tersangkut masalah dengan teman-temannya. Ia selalu menjadi penengah dalam setiap persoalan. Oleh karenanya, ia disukai banyak orang, khususnya mahasiswa yang kuliah di kampus ini.

“Kalau dipikir-pikir, perkataanmu ada benarnya juga. Kita memang belum sempurna dalam segala hal. Jadi, apa salahnya kalau kita mencoba membenahi diri untuk mencapai kesempurnaan hidup”. Ucap lelaki yang duduk di samping Andri. Lelaki itu seolah membenarkan semua penjelasanku. Kulihat ia hanya tersenyum tipis. Sesekali ia meminum kopi yang ada di depannya. Tak lama kemudian, ia mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Diambilnya satu batang lalu ditaruh di bibirnya. Dari saku celananya ia mengambil korek api dan membakar rokok itu. Setelah itu ia meletakkannya tepat di depanku.
“Memang benar sih tapi kita harus tahu satu hal, ketika kesempurnaan menjadi tuntutan utama, ketika itu pula ketidaksempurnaan akan dipertanyakan. Namun ketidaksempurnaan itulah yang harus dicintai dengan sempurna. Pernahkah kita berpikir sempurna ketika ketidaksempurnaan itu harus dipertautkan?”. Andri melanjutkan pembicaraannya. Ia mencoba menjadi penengah. Dari nada bicaranya sudah mulai kelihatan bahwa ia adalah sosok yang bijaksana dan berwibawa.

Suasana ruangan tiba-tiba sepi. Tak ada yang berani angkat bicara setelah mendengar perkataan Andri tadi. Aku tertunduk sembari mengangguk-anggukan kepala. Aku tak tahu siapa sebenarnya yang benar dan siapa yang salah. Aku sebagai manusia tentunya masih jauh dari sempurna. Aku telah meninggalkan sesuatu yang menurutku tidak sempurna karena aku hanya menginginkan yang sempurna tapi mungkinkah aku dapat meraihnya. Bukankah ketidaksempurnaan itu harus kita cintai dengan sempurna seperti yang dikatakan Andri tadi. Aku bingung. “Tuhan, dekatkan aku pada sesuatu yang mendekati kesempurnaan.” Ucapku dalam hati.

Tak terasa waktu sudah sore. Cakrawala di hiasi gugusan warna kuning keemasan. Saat itu kulihat matahari sepertinya sudah mulai beranjak ke peraduannya. Andri dan sekretarisnya masih tetap terdiam. Aku tak punya keberanian untuk intrupsi, padahal aku ingin pulang ke kost karena aku belum melaksanakan kewajibanku sebagai warga muslim yang taat. “Sudahkah kau shalat ashar?”. Tiba-tiba suara Andri memecah keheningan. “Kalau memang belum shalat, shalat disini saja karena sebentar lagi adzan maghrib”. Lanjutnya. Aku hanya menganggukkan kepala ketika ditanya oleh Andri. Tanpa berpikir panjang aku langsung menuju kamar mandi yang terletak di pokok kiri ruangan. Aku berwudlu’ lalu shalat.

Setelah selesai shalat, Andri memanggilku. kemudian dengan segera aku kembali ke tempat yang tadi. Katanya, masih ada yang ingin dibicarakan. Aku langsung duduk di depannya. “Apa yang kau rencanakan selanjutnya, apakah kau tetap pada pendirianmu untuk meninggalkan komunitas ini?”. Tanya Andri. Aku hanya tertegun. Mulutku tiba-tiba kelu katika dihadapkan pada dua pilihan yang menurutku sama-sama baik. Aku bingung harus pilih yang mana. Dalam hati aku cendrung lebih memilih keluar dari komunitasnya tapi konsekwensinya mereka akan memusuhiku, menghinaku seperti kemarin-kemarin.

“Dapatkah kau mengabulkan permintaanku?. Aku tak akan keluar dari komunitas ini asalkan aku boleh menentukan jalan hidupku sendiri. Jujur, aku merasa terkekang sejak aku bergabung dalam komunitas ini. Seolah-olah aku didoktrin untuk mengikuti ideologi mereka. Aku tidak suka ada pemerkosaan karakter seperti itu”. Andri tertegun mendengar permintaanku. Raut wajahnya tampak lesu, seolah ia keberatan dengan segala keputusanku. Begitu pula dengan lelaki yang duduk di sampingnya. Ia tak berkomentar apa-apa. Dalam hatinya mungkin menggerutu. Ia hanya memandangi Andri dengan tatapan bingung. Hening. Tak lama kemudian Andri mulai angkat bicara.

“Keberadaan komunitas ini masih jauh dari yang kita harapkan. Ia ibarat sebuah bangunan. Tak akan berdiri kokoh kalau kita mengecornya dengan amarah. Kehidupan ini memang absurd. Tidak bisa ditebak dan diukur panjangnya. Begitu pula dengan manusia. Ia juga absurd karena tidak bisa ditebak nasibnya. Haruskah kita mempertautkan itu untuk kepentingan diri sendiri?”. Tegasnya. Aku lega seketika dengan keputusannya yang terakhir ini. Ternyata mereka masih bersedia menerimaku kembali. Terima kasih, Tuhan!. Mungkin ini anugerah terbaik yang kau kirimkan untukku.

*Penulis adalah mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saat ini aktif pada Forum Pecinta Satra dan Seni (FORSENI) di Surabaya.
read more “Rumah Cerpen_02”
Author: .
•03.30

KALKULASI KEPENTINGAN DENGAN TERMA TERORISME
Oleh: Maltuf Ready*

Hal yang terpenting tentang Islam adalah bahwa kita harus membedakan dua wajah Islam. Pertama, lembaga Islam. Kedua, budaya Islam
(Gus Dur)

Stigma terhadap Islam sebagai agama kekerasan, teror, anti-HAM, anti-demokrasi, dan lain sebagainya, menjadi afirmatif ketika mendapat momentum pasca-peristiwa 11 September dulu dan realitas kebanyakan dunia Islam yang dipimpin oleh kekuasaan otoriter.

Perspektif barat terhadap Islam yang penuh deskripsi peyoratif merupakan generalisasi yang salah kaprah, sekaligus kegagalan memahami peradaban Islam secara holistik. Banyaknya aksi yang tidak adil terhadap umat Muslim di negara-negara Barat tidak lain bermula dari akar masalah persepsi yang timpang ini. Diskriminasi sosial yang sering menimpa sebagian umat Islam di dunia Barat adalah akibat korelasi pemahaman yang masih menyimpan trauma bahwa Islam mengajarkan kekerasan, ketidakadilan, dan sebagainya.

Dalam perspektif Barat, Islam erat kaitannya dengan model agama yang mendidik terorisme dan kekerasan. Munculnya tesis orientalis semacam Bernard Lewis yang melihat sisi buruk Islam politik atau Samuel Huntington dengan tesis benturan antar peradaban, lahir dari genealogi prasangka Barat yang memiliki kuasa kepentingan atas dunia Islam.

Di sinilah kritik Edward Said kembali relevan mengenai orientalisme (1978), bahwa Timur dipandang sebagai yang lain dan akhirnya menjadi truth claim untuk menyusun beragam teori, deskripsi politik, dan sebagainya. Orientalisme akhirnya menjadi proyek historis-materialis sebagai jenis pengetahuan Barat yang mempunyai tujuan mendominasi, merestrukturisasi, dan mendatangkan kekuasaan atas Timur.

Sebuah buku berjudul Western State Terrorism yang dieditori oleh Alexander George, mengkompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward S. Herman, Richard Falk, dan sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya (to employ terrorism as a tool of foreign policy). Prof. Edward S. Herman, guru besar di University of Pensylvania dan Gerry O’Sullivan menulis sebuah artikel berjudul “Terrorism as Ideology and Cultural Industry. Mereka menyebut terorisme sebagai industri multinasional, dimana terdapat hubungan erat antara pemerintah, sponsor swasta, institusi-institusi pemikir, cendekiawan, baik di dalam AS maupun utamanya antara AS, Israel, dan Inggris.

Semakin biasnya penggunaan istilah teroris adalah dalam kasus pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) di Shabra-Shatila pada 1982. Pembantaian itu jelas dilakukan oleh Tentara Kristen Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris.

Mengikuti perjalanan sejarah terorisme, mulai dari aksi-aksi bom bunuh diri hingga yang terbaru kemaren, peledakan dan penyanderaan di Hotel Taj Mahal, Mumbai, Rabu malam (26/11/2008) lalu, mengusik diri setiap orang dengan suatu pertanyaan seragam: apa yang melatarbelakangi pelaku teroris tersebut? Benarkah mereka melakukan tindakan tersebut semata-mata karena alasan ideologis semata atau adakah alasan lain di luar itu?. Meskipun pertanyaan ini sederhana, namun jawabannya tidaklah mudah.

Pertama, Satu hal yang harus kita akui bahwa, jika terorisme sekadar dikaitkan dengan ideologi atau agama tertentu, dengan melihat aksi-aksi terorisme yang terjadi di negara-negara Asia serta di dunia ketiga semisal Indonesia, pendapat tersebut sangat tidak relevan. Terorisme adalah sebuah kejahatan terorganisasi, lintas negara, yang kebetulan menunggang kepentingan sebuah ideologi dan bersembunyi di balik kedok agama. Karena pada dasarnya setiap agama menganjurkan pemeluknya menghindarkan kekerasan dalam penyelesaian suatu masalah, maka adalah sesat jika para teroris itu menyebut aksinya sebagai perintah agama, apalagi diklaim sebagai syuhada’ bagi pelaku teror yang mati saat melakukan teror bom bunuh diri atau mati karena dieksekusi.

Kedua, mengkritisi ulang akan dominasi pendekatan kebudayaan terhadap konflik-konflik Muslim-Barat, bahwa konflik-konflik itu tak dipicu oleh identitas budaya, agama atau peradaban, tetapi oleh sebuah kalkulasi kepentingan.

Seyogyanya pilihan untuk menggunakan kekerasan atau teror itu bukan merupakan cermin dari faktor ideologi, agama atau kultural. Tapi merupakan cermin dari faktor kalkulasi strategis atau kalkulasi kepentingan. Artinya, jika sebuah kelompok memilih untuk menggunakan pendekatan kekerasan atau kedamaian, maka bergantung pada kalkulasi insentif dan disinsentif atas tiap-tiap pendekatan tersebut. Perlawanan dan metodenya sering ditentukan oleh kalkulasi tersebut, tidak hanya kalkuasi ideologi, agama dan kultural.

Hal ini bisa kita lihat pada hubungan antara Amerika Serikat (AS) dengan kelompok mujahidin Afghanistan. Berbagai kelompok oposisi Afghanistan ini sebelumnya berada dalam barisan yang sama dengan AS saat berperang melawan pendudukan Soviet di Afghanistan pada tahun 1980-an. Saat itu, AS memandang kelompok ini sebagai pejuang kemerdekaan atau pahlawan. Tetapi kini, sebagian dari kelompok ini malah berperang melawan AS, kekuatan pendudukan baru. Sehingga AS dengan tanpa pandang bulu, men-cap kelompok ini sebagai teroris. Cara pandang masing-masing pihak ini terhadap tantangan, kepentingan, dan posisi masing-masing membuat mereka bersekutu atau bermusuhan.

Ketiga, istilah clash civilization-nya Samuel P. Huntington itu terlalu dipaksakan. Seakan-akan ada sebuah situasi konflik yang spesifik antara Muslim dan Barat. Pada hal konflik-konflik yang dinyatakan sebagai benturan peradaban tak pernah menyangkut agama semata. Hal ini bisa kita lihat pada Perang Salib, selain agama juga memiliki kepentingan politik dan tanah.

Anis Baswedan, Rektor Universitas Paramadina ini pernah mengungkapkan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah berbagai bentuk polarisasi yang selalu muncul sepanjang sejarah manusia. Baik polarisasi budaya, ideologi, ras, dan agama. Sedangkan polarisasi itu sendiri merupakan bagian dari fitrah kehidupan.

Meskipun demikian, motif-motif ideologis atau agama itu tentu ada tetapi hanya berjalan di tingkat mikro atau yang biasa disebut dengan motif-motif individual. Agama atau ideologi hanya alat yang dibajak untuk merekrut, memotivasi, serta menciptakan solidaritas para pelaku sebagai legitimasi. Konflik-konflik itu didengungkan sebagai konflik yang bersifat ideologis atau religius untuk menginspirasi para pengikut, melegitimasi perang sebagai just war, menarik sekutu, dan sebagainya.

Keempat, dalam kerangka pemahaman terhadap wacana ini, maka penting menggunakan analisa strategis rasional yang tujuannya adalah untuk mengetahui potensi konflik kekerasan yang mungkin timbul, sehingga bisa segera menemukan cara pencegahannya. Jika hanya menggunakan pendekatan kultural (cultural approach), sebuah pendekatan yang melihat tindakan seseorang atau kelompok dipengaruhi oleh variabel-variabel psiko-religius-kultural, maka dimungkinkan hanya akan berputar-putar saja, tanpa mengetahui bagaimana cara menangani konflik tersebut.

Kelima, penggunaan ideologi, kebudayaan, dan agama hanya sebagai senjata ampuh dalam menciptakan solidaritas dan integritas yang tinggi. Ini terjadi karena ketransendentalan dan kemesiahannya yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan di luar dirinya. Ketika tujuan di luar dirinya itu tercapai, ia bisa dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan strategis lainnya. Jika kemudian terjadi perubahan-perubahan geopolitik maka tidak impossibel merubah sekutu menjadi musuh.

Dua mata memahami Barat dan Timur

Ada hal yang menarik saat ini, dan ini juga bisa dikatakan peluang karena antara islam di barat dan barat di Islam masing-masing mempunyai ruang dialog. Islam sedang tumbuh dan hadir di pusat-pusat peradaban yang menonjol, seperti di kota-kota utama Amerika atau Eropa. Meskipun sebagai minoritas, Muslim di sana harus mampu menunjukan kepribadian yang baik, menegosiasikan nilai-nilai Islam melalui bahasa peradaban tuan rumah, menjadi bagian dari kekayaan peradaban tersebut.

Demikian pula yang dialami oleh orang-orang Barat yang tinggal di negara-negara Muslim (Timur). Di tangan duta besar masing-masing elemen inilah masa depan hubungan Muslim dan Barat terletak, karena mereka memiliki posisi istimewa untuk menjadi bagian dari masyarakat Muslim maupun Barat.

Sedangkan persepsi, paradigma, penafsiran, serta corak pemikiran Barat atas Islam yang kurang sedap harus secepatnya didekonstruksi. Hakikatnya, kegagalan Barat yang memandang sebelah mata terhadap Islam, sejatinya merupakan kegagalan proses dialog. Akibat kesalahan dialog tersebut akhirnya menyimpan prasangka yang berlebihan serta menggeneralisasi realitas umat Islam.

Jadi, sebagaimana diktum Akh. Muzakki saat diskusi Team Manhaj kemaren, bahwa representasi barat terhadap Timur, begitu pula sebaliknya, akan menuai hasil positif. Implementasi opini ini dalam skala kecil akan memandang bahwa terorisme di berbagai belahan dunia, termasuk teror di Hotel Taj Mahal, Mumbai, yang notabene sebagai pusat perekonomian India, tidak akan dipandang sebelah mata, banyak kalkulasi kepentingan yang perlu dianalisis bersama. Jika interpretasi terorisme sebagai kejahatan timur terhadap barat, lantas disebut apakah kejahatan yang dilakukan barat terhadap Timur?.


* Penulis adalah koodinator Lingkar Pena Mahasiswa Surabaya

read more “Rumah Opini_01”
Author: .
•03.28

SAYONARA

Pagi yang buta

Gerimispun berkata

Pada langit

Pada bumi

Dingin

Hening, mencekam

Kudekap tubuhmu

Dengan bibir yang gemetar

Lalu kau berucap:

”Aku telah kehilangan tubuhku,

Aku telah kehilangan eksistensiku”.

Aku tertunduk, pilu

Kubelai rambutmu yang basah

Namun hatimu gelisah, pasrah

Seraya berkata:

Sayonara...Sayonara...Sayonara...

Aku akan meninggalkanmu

Kenanglah aku dalam diammu

Sejenak....

Ia menghilang

Kelam

Lalu,

Akupun tenggelam

Surabaya, 01 Januari 2009


REFLEKSI TAHUN BARU

Pernahkah kau berpikir

bahwa bumi adalah bulat

Seperti halnya roda yang tak ada ujungnya,

Tapi disitulah kita mengais sampah kehidupan

Mengemis kebijaksanaan

Menuntut keadilan

Menagih janji-janji penguasa

Ah, Semua itu hanya slogan kosong

Mereka semua pembohong!!

Pernahkah pula kau berpikir

Bahwa di dalam kebulatan itu ada sebuah bundaran

Yang menjadikannya hidup penuh liku

Penuh benalu

Hingga rakyat kecil tertipu

Sementara mereka

Hanya tersipu

Hanya membisu

Dengan kekuasaannya

Yang tak bermutu

Lihatlah...!!

Bulatnya bumi adalah bundar

Bundar di bumi yang bulat

Bulat di bumi yang bundar

Tapi, semuanya telah terlambat

Hingga akhirnya mereka tak bermartabat

Surabaya, 01 Januari 2009


KUKENANG DIRIMU

- Untukmu Kaum Tertindas

Kukenang dirimu

Di bawah hamparan langit tak berawan

Senyum manismu takkan mampu

Membuka pintu keraguanku

Pancaran kasihmu

Telah membuatku terbakar

dalam api kebencian

Kukenang dirimu

Di kedalaman samudra tak berair

Airnya telah berubah menjadi

Pasir-pasir kerakusan

yang berceceran

di lembah ilusiku

Kuakui, otakmu memang cerdik

Namun........

Hatimu licik

Ribuan manusia telah kau cekik

dengan jemarimu yang lentik

Lihatlah….

Aku telah menemukan jalan

Di atas jalan yang kau tempuh

Jalan itu yang nantinya

Akan mengantarkanku

Pada kebahagiaan abadi

Surabaya akhir 2008


PUTERI REMBULAN

Aku hanya bisa melihat

Bidadari itu berjalan

Di tikungan zaman

Mencari arah datangnya sebuah angan

Yang tak pernah ia bersihkan

Aku hanya bisa melihat

Bidadari itu berjalan

Dengan penuh kegamangan

Menelusuri lorong- lorong kegelapan

Tuk sekedar mencari kepastian

Yang tak pernah ia impikan

Aku hanya bisa melihat

Bidadari itu menatapku tajam

Dengan langkah gontai

Dengan tangan melambai-lambai

Lalu, ia mengajakku diam

Dalam kelam yang menyelimuti malam

Oh, inikah puteri rembulan

Yang kumimpikan semalam? Bisikku.

Surabaya akhir 2008


SEPERTI HALNYA AIR SUNGAI

Aku mencintaimu

Seperti halnya air sungai

Mengalir tanpa lelah

Mengelilingi hasrat bebatuan yang terpendam

Di tikungan zaman

Aku mencintaimu

Seperti halnya air sungai

Mengalir deras diantara celah bumimu

Yang gersang dan kering

Aku mencintaimu

Sepereti halnya air sunngai

Mengalir mengisi ruang-ruang yang kosong

Seperti halnya apakah ketika keduanya menyatu??

Surabaya akhir 2008

read more “Rumah Puisi_02”
Author: .
•03.25

SPIRIT KEAGAMAAN YANG BERBEDA

Sungguh perkataan kami akan menyisakan kematian, ketandusan, sama sekali tanpa nafsu, hingga kita meninggal sebagai akibat dari perkataan ini, lalu sesudah itu perkataan ini tiba-tiba akan bersemi kembali dalam kehidupan dan hidup di antara hati-hati yang mati, membawa mereka dalam kehidupan juga.

(Sayyid Qutb)

Di Lebanon, perang agama antara muslim dan Kristen menyebabkan perang saudara pada 1975 yang berlangsung lebih dari satu dekade. Orang-orang Lebanon lebih mengidentifikasi diri dengan kelompok keagamaan mereka ketimbang dengan negara mereka. Begitu lemahnya ikatan nasionalisme di Lebanon (Shireen T. Hunter: 2001).

Pendapat Thomas Lippman mungkin ada benarnya, tidak satu kebangkitan Islam yang meliputi seluruh dunia, tetapi merupakan serangkaian pergolakan-pergolakan yang bersifat koinsidental ketika Islam merupakan ekspresi yang umum dari ketidaksepakatan politik. Pluralisme yang terdapat dalam Islam juga menjadi salah satu penyebab beragamnya tafsiran akan kebangkitan Islam. Begitu juga yang terjadi dengan solidaritas jihad untuk Timur Tengah.

Jihad oleh Shireen T. Hunter dimaknai tidak hanya untuk bertahan ketika diserang. Tujuan jihad adalah menaklukkan semua halangan yang mungkin menghambat penyiaran Islam ke seluruh dunia, yang meliputi negara, sistem sosial, dan tradisi-tradisi asing, saat para mujahidin akan melakukan jihad yang komprehensif, termasuk menggunakan kekerasan.

Karena kewajiban jihad melibatkan kesyahidan, umat Islam harus siap berkorban karena kemenangan hanya bisa terwujud dengan menguasai "seni kematian". Definisi tersebut seolah Islam mengajarkan sikap ofensif dan progresif dengan anarkisme sebagai salah satu jalannya dalam mendakwahkan Islam. Tetapi, jika dipahami betul, progresivitas Islam adalah dalam rangka menyebarkan rahmatan lil'alamin.

Karena muara dari dakwah Islam adalah cinta kasih terhadap semesta, "kekerasan" juga bertujuan menjaga tali kasih sayang terhadap sesama. Jika Israel dengan arogansinya meluluh-lantakkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian, genderang perang untuk menandingi kekuatan lawan harus ditabuh.

Tentunya dibarengi perencanaan strategi yang matang. Artinya jihad fi sabilillah yang dikobarkan kelompok Islam di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia harus mempertimbangkan aspek maslahatul ummah. Jika ghirah jihad hanya menuruti nafsu primordialisme agama, sesungguhnya tidak memberikan kontribusi apa-apa.

Apakah jihad yang dimaksud ikut terlibat medan tempur ataukah bergerak di bidang kemanusiaan yang menyelamatkan kesehatan dan nyawa tentara dan rakyat sipil di Lebanon. Sejatinya, jihad Islam juga harus berlandaskan pada lima prinsip syariat (kulliyatul khomsah), yaitu menjaga agama (hifdzud dien), menjaga jiwa (hifdzun nafs), menjaga akal (hifdzul aql), menjaga harta (hifdzul mal), dan menjaga keturunan (hifdzun nasl).

Spirit jihad adalah spirit untuk menjaga dan menyelamatkan kelima prinsip utama tersebut. Wajar jika yang berjihad juga dituntut lebih dulu menjaga dan mempertimbangkannya.

Dalam konteks ini sebenarnya telah jelas batas antara terorisme dan jihad yang sering dimaknai ambivalen oleh pihak Barat. Membela dan mempertahankan keadilan (al adalah), kebahagiaan (as sa'adah), dan kesetaraan (al musawah) adalah hak asasi setiap manusia baik sebagai subjek agama maupun sebagai subjek negara demi cita-cita perdamaian dunia.

Terorisme adalah arogansi yang memusnahkan kehidupan orang lain, bangsa lain tanpa alasan yang logis. Nafsu menguasai dan dominasi yang membuat buta akan makna kehidupan, buta kasih sayang dan matinya signal dengan Tuhan Sang Pencipta.

Kesadaran akan makna jihad yang melahirkan perdamaian hendaknya juga didialogkan dengan pihak Barat. Karena tidak semua Barat sepakat dengan Israel dan Amerika yang adi kuasa. Dan tidak semua Israel dan Amerika mengumbar kebengisan terhadap negara-negara Arab.

Sesungguhnya Islam tidak di Timur dan juga tidak di Barat (la syarqiyah wala gharbiyah). Sehingga spirit jihad yang menyadarkan umat manusia di berbagai negara di dunia akan menyelesaikan krisis di Timur Tengah.

Dalam ranah ini, terorisme memiliki dua sisi yang tidak bisa dipisahkan: aksi dan ideologi. Drama teror ini menampilkan dua tokoh: aktor sebagai eksekutor aksi teror dan aktor intelektual yang membangun basis ideologi teror. Nah, ideologi teror tersebut ditanam oleh aktor-aktor intelektual yang sangat mahir memainkan ayat-ayat Tuhan untuk menggiring pemuda-pemuda tak berdosa sebagai pelaku terorisme.

Oleh karena itu, ulama ibarat pisau yang memiliki peran ganda: memotong kue bolu, atau menikam untuk membunuh. Di negara manapun, ketika marak terjadi aksi terorisme, pemerintah setempat menyerukan agar ulama-ulama agama berperan memerangi terorisme. Di Saudi Arabia ulama-ulama telah mengharamkan “bom bunuh diri”. Di Jordania, khatib-khatib Jumat diserukan mengutuk terorisme dan menyiarkan Islam yang damai. Demikian juga di Mesir, Pakistan, dan termasuk di Indonesia. Sebab-musabab seruan terhadap ulama itu -untuk memerangi terorisme- karena mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik): tidak sedikit dari ulama-ulama itu menjadi aktor intelektual dan mendukung terorisme. Seorang teroris dipastikan memiliki guru, dan balai pendidikan yang membentuk jiwa, pikiran, dan menunjukkan jalan terorisme itu.

Sederhananya, teroris-teroris itu adalah korban dari manusia—yang disebut ulama—tidak bertanggungjawab itu. Anehnya, ulama-ulama kharismatik itu hanya berani membakar kemarahan dan kebencian umat, tanpa memiliki keberanian berada di garis terdepan dengan membawa bom. Jangankan meledakkan dirinya, anak-anaknya pun tidak diajari untuk menjadi teroris dan melakukan pembunuhan. Mereka cukup mempengaruhi santri, tetangga, dan orang lain untuk melakukan aksi-aksi kekerasan.

Maka dari itu, seorang ulama memiliki peran vital terhadap terorisme. Peran itu dimulai, bagaimana mereka meracik dan menyuguhkan agama ada umat. Jika mereka menyuguhkan agama sebagai ajaran kebencian dan kekerasan, maka, agama akan menjadi kekuatan terorisme mahadahsyat. Agar tetap menarik dan laku, agama dikemas dan dipromosikan melalui pengajian, khutbah, pengkaderan, dan diiming-imingi janji-janji: mati syahid, kenikmatan kehidupan sorgawi dan menikahi bidadari.

Namun jika ulama konsisten mengemas dan menyuguhkan agama sebagai ajaran perdamaian, kerukunan, dan antikekerasan, maka, terorisme dan aksi-aksi kekerasan itu akan dianggap berlawan dengan ajaran agama itu sendiri. Diakui atau tidak, sebagai doktrin, setiap agama memiliki benih intoleran dan kekerasan. Misalnya: ada ayat-ayat perang dalam Al-Quran. Namun seorang ulama, tidak cukup hanya “membacakan”, dia harus memiliki keberanian untuk melakukan “pembacaan” dan “pengkajian”. Setiap agama harus disiangi dari rumput dan gulma kekerasan, sehingga agama menjadi lahan subur bagi perdamaian dan kerukunan umat manusia.

Jihad, tidak bisa didefinisikan sekedar berperang. Pemahaman tersebut telah melakukan “pengerdilan” terhadap ajaran jihad yang agung. Menurut seorang ulama kharismatik Syria, Dr. Muhammad Sa’id Ramadlan Al-Buthi, dalam bukunya al-Jihad fi al-Islam jika jihad diidentikkan sebagai perang, maka ajaran jihad akan kehilangan makna yang sebenarnya dan segala macam variasinya. Al-Quran sendiri tidak secara definitif memaknai jihad sebagai perang. Al-Quran menggunakan istilah al-qitâl sebagai padanan perang. Sementara jihad tetap kaya dengan multimakna dan multibentuk.

Dalam surat Al-Furqan ayat 52 yang turun di Makkah disebutkan, Karena itu janganlah turut orang yang kafir, dan berjihadlah melawan mereka dengan jihad yang besar. Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai; “jihad besar” (jihâd kabîr) ini? Menurut Ibn Abbas, konotasi jihad dalam ayat itu adalah dengan “Al-Quran”, menurut Ibn Zayd dengan “Islam”, dan ada yang berpendapat dengan pedang alias perang. Namum Al Qurthubi dalam tafsirnya al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân (1995: 56) menolak keras pendapat terakhir; “jihad dengan pedang”, karena ayat ini turun di Makkah, jauh sebelum turun perintah perang. Sedangkan makna “jihad yang besar”, menurut Al-Zamakhsyari dalam besutannya, Tafsîr al-Kasysyâf (1995: 278) mencakup segala bentuk perjuangan (jâmi`an likulli mujâhadah).

Seorang ulama fikih klasik Syatha’ al-Dimyati dalam “kitab kuningnya” I’ânah al-Thâlibîn mendefinisikan jihad sebagai aksi menolak marabahaya dan kekacauan serta berjihad untuk kemakmuran dan kesejahteraan: sandang dan pangan (daf`u dlararin ma’shûmin min muslimin jâ’i`in aw `ârin wa nahwihimâ). Jika mau konsisten, perang malah diperbolehkan oleh al-Quran untuk melawan “fitnah”: perangilah mereka sampai tiada lagi (timbul) “fitnah” wa qâtilûhum hattâ lâ takûna fitnah (QS al-Baqarah: 193). “Fitnah” di sini menurut mayoritas ulama tafsir bermakna segala kekacauan akibat, pengusiran, perampasan, dan pembunuhan. Kekacauan yang menebarkan ketakutan dan rasa tidak aman. Fitnah adalah terorisme. Jihad melawan terorisme berarti jihad melawan kekacauan yang berakar pada “fitnah” tadi. Sementara ulama adalah artikulator, penafsir: “lidah” agama, namun bukan berarti seperti Si Pahit Lidah, yang kerjanya, cuma mengumbar kebencian, dan kutukan. Karena agama bukan ancaman dan kutukan. Tantangan terbesar bagi ulama untuk, tidak hanya dituntut menjalankan agamanya secara benar, tapi juga menjaga agar agamanya tidak “dibajak” menjadi amunisi untuk membunuh.

read more “Rumah Opini_02”
Author: .
•03.21

SEPENGGAL TAKDIR

Awan mendung bertiup dan mulai bergemuruh di langit yang sebelumnya biru. Kilat dengan serta merta menyambar turun ke Bumi, dan baru beberapa detik kemudian suara guntur terdengar―menggelegar bagai dentuman meriam langit atau letusan gunung berapi yang memuntahkan magma serta debu vulkanik jauh ke angkasa. Tak sampai di situ saja pengaruhnya; awan itu juga menebar teror kegelapan dan seketika langsung merasuk, juga mencengkeram dengan membonceng ketakutan, hingga dapat melelehkan kebahagiaan yang tersimpan dalam frame-frame kenangan masa lalu.

Di padang rumput itu, seorang pria berdiri kokoh bagai patung di tengah kota. Di atas sebuah bukit kecil, di mana sepasang kakinya sejak tadi menapak—mengakar. Ia menatap ke langit, ke sebuah gumpalan awan yang makin menghitam tiap detiknya. Fisiknya yang tinggi dan ramping terlihat samar saat sekelebat cahaya petir menyambar dengan gila, merambat pada sela-sela udara yang berubah dingin. Rambutnya pendek dengan potongan rapih di tiap ujungnya dan bergerak lembut saat terbelai angin.

“Kau tidak adil padaku?” teriaknya entah kepada siapa.

Mungkin ditujukan kepada salah satu gumpalan awan di atas sana atau petir, atau bahkan untuk Sang Khalik pemilik segalanya—di mana wujud-Nya tak akan pernah nampak oleh sepasang indera yang dinamakan ‘mata’ itu. Tak akan mungkin. Tidak mungkin ada organ bahkan alat buatan makhluk manapun yang bisa melakukannya. Kecerdasan manusia itu terbatas. Semua telah diatur dalam sekat-sekat sel yang ada di otak.

“Mengapa Kau ciptakan takdirku seperti ini? Nasibku merana menjadi hamba terhina. Apa Kau tidak mendengar sebutan mereka padaku? Mereka bilang kalau aku ini tidak berguna, lemah, bodoh, goblok, tolol, monyet atau apalah istilah mereka.”

Kelopak matanya basah lalu mengeluarkan pilu yang menurut bangsa keturunan primata seperti manusia, dinamakan ‘air mata’.

“Di mata mereka, aku ini sangat rendah. Lebih rendah dari sampah. Cacat. Tak pantas berada di antara mereka,” jelasnya terisak.

“Sesungguhnya, mereka itu salah. Kau bisa lihat sendiri. Tak ada kecacatan dari fisik yang Kau ciptakan ini. Semua organku lengkap, otakku juga masih betah bersemayam di kepala, dan hati serta jantungku juga tetap pada tempatnya. Sama seperti mereka. Lalu mengapa mereka terus saja memanggilku seperti itu? Merendahkanku di muka umum? Apa yang salah pada diriku?”

Dengan punggung tangan, ia mengusap matanya.

“Mengapa Kau tetap diam? Apa Kau bisu? Tuli? Katanya, Kau selalu mendengarkan keluh-kesah semua hamba-Mu. Mana buktinya? Mana? Omong kosong. Semua itu ternyata bohong.”

Ia diam sesaat, mencoba mengatur tingkat emosi yang semakin meluap-luap dalam dirinya.

“Jika Kau memang adalah Sang Penguasa—raja di atas segala raja, buktikan padaku!” teriaknya makin kencang.

“Tunjukkan kekuatanmu! Mana kekuasaanmu!”

Ia menghela napas sekali, seakan ingin menyampaikan sebuah ultimatum yang harus terlaksana.

“Aku ingin punya sayap. Sayap indah yang bisa membuatku terbang dan tak lagi mendengarkan sebutan merendahkan mereka kepadaku. Aku ingin menjauh dari koloni mereka. Menjauh sejauh-jauhnya. Aku ingin terbang. Terbang seperti burung yang bebas di angkasa. Setinggi-tingginya hingga mencapai puncak awan.”

***

Pagi itu matahari belum menampakkan semburat sinarnya dari kejauhan ufuk timur. Tampaknya sang surya masih terlelap di peraduan angkasanya. Kabut semi transparan juga masih menguasai sebagian badan jalan di salah satu daerah paling padat penduduk di kota Jakarta. Tetes embun belum memuai menjadi uap air dan menyatu dengan udara, menyebabkan udara makin lembab. Sayup angin seakan menguak sebab keheningan di beberapa lorong sempit di perumahan tersebut. Makhluk-makhluk belum menampakkan diri. Masih bersemayam di balik selimut kehangatan.

Jam weker berbunyi nyaring—bergema di salah satu rumah bagai bunyi lonceng emas di puncak kuil Olympus, seakan meramalkan kejadian mengerikan yang nanti akan terjadi.

Ketika selimut disibakkan, tubuh setengah telanjang ada di baliknya. Deretan tulang rusuk tercetak di sana, bagai urat yang menonjol dari balik kulit. Laki-laki itu membuka mata. Sedikit demi sedikit, suasana sekitar mulai tertangkap oleh inderanya, menampilkan susunan langit-langit kamar berwarna putih dengan lampu ber-watt kecil yang masih menyala.

“Sudah pagi rupanya,” gumamnya sembari tersenyum saat kesadarannya tengah memulihkan diri. Kantuk yang masih terasa, ia paksa pergi dan menghilang. Sekarang waktunya melanjutkan hidup.

Sebelah tangannya mengambil weker yang ada di meja. Tombol weker yang ada pada bagian atas ia tekan, menyebabkan suara deringan benda itu berhenti seketika. Ia melihat jarum jam menunjukkan pukul 06.30 pagi. Weker diletakkan lagi ke tempatnya semula, sembari ia mencoba membangunkan tubuhnya yang masih malas bergerak. Digaruknya beberapa bagian tubuh hingga puas lalu dengan jari-jari tangan, rambutnya yang berantakan disisir seadanya. Sebagian ke samping kiri dan sebagian lagi ke samping kanan.

Sejenak, laki-laki itu menggeliat keenakan lalu menguap bagai sang penguasa rimba. Setiap bukaan mulutnya bagai menghisap ion-ion kehidupan yang ada di tempat itu hingga tak bersisa. Rakus sekali. Biasalah, manusia memang cenderung seperti itu. Tak puas atas apa yang telah dimilikinya. Ingin terus menambah, menambah, dan menambah.

Sinar matahari menerobos masuk melalui sela-sela tirai penutup jendela. Cahayanya menghangatkan kulit dan mencairkan keheningan. Seolah-olah kehidupan mulai tersusun kembali setelah tidur sekian lama, setelah berhibernasi dalam kegelapan. Menciptakan peradaban baru ke arah yang lebih baik. Semoga saja...

“Mimpi tadi benar-benar aneh. Aku seolah-olah berbicara kepada Tuhan. Bagaimana mungkin?” Lelaki itu nyengir sendiri.

“Tidak masuk akal.”

Namun jauh di lubuk hatinya, ia bener-benar menginginkan hal itu terjadi. Mimpi tadi seolah-olah mencerminkan isi hatinya. Menggambarkan kalut yang selama ini menyiksa batin dan jiwanya. Ia tak bisa berbohong lagi. Walau hanya di dalam mimpi, ia telah puas. Yang jelas, ia telah menumpahkan suara hatinya. Lainnya, tak penting. Hari ini harus dijalani dengan perasaan bahagia. Tak ada beban sedikit pun yang lagi menghinggap. Telah hilang dan menguap bersama embun.

Ketika ia berdiri, sesuatu seperti begoyang dari punggungnya—bergerak-gerak. Ia merasakan keanehan pada daerah itu. Kepalanya coba ditengokkan ke belakang. Secara reflek tangannya ikut membantu.

“A... apa ini?” teriaknya kaget. “Mengapa benda ini bisa melekat di tubuhku?”

Sepasang sayap kecil bergerak-gerak mengikuti gerakan punggungnya. Mengibas-ngibas bagai sayap burung yang terbang bebas di angkasa. Sepasang sayap itu berwarna hitam namun tak berbulu. Lembut dan menyerupai daging yang terbalut kulit dengan beberapa tonjolan tulang.

“I... ini sayap kelelawar,” gumamnya ketakutan. “A... apa yang terjadi? Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Mengapa... mengapa sepasang sayap menakutkan ini tumbuh di punggungku?”

Dengan paksa, ia mencoba melepaskan sayap itu. Sekuat tenaga. Namun setiap upaya untuk menarik sayap itu agar terlepas dari tubuhnya, membuat kulitnya sakit. Kulit punggungnya seperti tertarik dan hampir sobek. Hal itu sia-sia saja. Sayap itu telah bersatu dengan tubuhnya dan menjadi bagian atas dirinya.

Ia tak terima. Tangis dan teriakan tak ada gunanya. Semua itu tak bisa mengembalikan tubuhnya ke kondisi semula—normal kembali. Ia merenung beberapa menit ke depan ketika matahari kian meninggi. Sedikit demi sedikit ia bisa menerimanya walau tak sepenuhnya. Ia masih tak tahu harus berbuat apa.

Mungkin ini pengaruh dari mimpi itu. Aku benar-benar berbicara kepada Tuhan, gumamnya dalam hati antara percaya atau tidak. Dengan kesadaran yang telah kembali, ia berkata setengah berbisik.

“Hidup harus dilanjutkan. Tak ada gunanya penyesalan. Tapi...”

Dua puluh menit kemudian ia keluar dari kamar mandi. Mencari alat untuk menutupi sepasang sayap itu agar tidak kelihatan. Diambilnya gulungan perban kemudian dililitkannya benda itu ke punggungnya. Terus, terus dan terus, hingga tonjolan sayap itu tak tampak. Setelah selesai, lanjut ia mengenakan baju dalam lalu kemeja yang dikombinasikan dengan dasi berwarna hitam bergaris. Semua kostum formal itu diberi sentuhan terakhir dengan balutan jas. Ia berdiri di depan cermin, memperhatikan sejenak penampilannya lalu berputar beberapa kali. Walau tubuhnya terlihat sedikit bungkuk karena tulang punggungnya menonjol keluar bagai pasak, tapi tanda bahwa itu adalah sayap tak terlihat.

Aku terlihat seperti manusia normal kembali dan topeng ini akan membuatku menyerupai mereka. Bibirnya dipaksa mengurai senyuman. Ditepuknya bagian jas yang terlihat berdebu, simpul dasi dirapihkan dan disembunyikan di bawah kerah kemeja lalu setelah semua sesuai dengan keinginannya beberapa menit kemudian, pria itu mengambil tas kerja lalu keluar dengan langkah terburu-buru.

v

read more “Rumah Cerpen_01”
Author: .
•03.12

MATA AIR AIRMATA

Pada mata airmu yang hening

Pada airmatamu yang bening

Ijinkan sejenak mataku memandang kepiluanmu

tanpa berkedip

Hingga menembus ke dalam celah-celah sungai Nil-mu

yang mulai mengering

Februari, 2009


SEBELUM KAU PERGI

Sebelum kau pergi

Ku ingin kau tersenyum

Di depan mataku yang rapuh

Agar nantinya kau tak sedih

Ketika menapaki jalan yang terjal

dan penuh liku

Sebelum kau pergi

Ku ingin menuliskan lembaran kisah

Pada lembayung sukma jauh

Agar ia menjadi saksi bahwa babad hari ini telah mengalun perih

diantara kebisuan yang lestari,

bersimpuh manis dalam dekapan mimpi dan sejarah

Dan esok seolah gaib yang tertata

yang tak tembus oleh hati, mata dan airmata

Sebelum kau pergi

Ku ingin mengenangmu

dan terus mengenagmu

Hingga malaikat itu

hinggap di pangkuanku

dengan sebait sabda

yang tak bernada

Februari, 2009


KEPADA AIR

Kepada air

Hasratku mengalir

Di antara celah bumi

yang kau pijak

Kepada air

Anganku menetes

Di atas kedalaman

Lautan kasihmu

Kepada air

Ku ingin hasratmu mengalir

Pada anganku yang berair

Februari, 2009


SEBUAH PENGKHIANATAN

Kau tersenyum seperti iblis

Yang berhasil membius manusia

dengan segelas anggur

Menghapus manis sentuh bibir yang pernah kau kecup

mengurai cinta yang erat ku balut

hingga lelah letih meredup

Kau goreskan kepedihan di setiap harapan

Kau redupkan angan di setiap impian

Hingga aku terhuyung arus penderitaan

Ku akui….

Kau memang tawaddhu’, tertunduk

Tapi jidadmu bertanduk

Otakmu sangat cerdik, tapi hatimu licik

Jutaan manusia telah kau cekik dengan jemarimu yang lentik

Februari, 2009


SKEPTIS

Malamku pilu

Siangku penuh liku

Malam siangku bisu

Engkaupun terharu

Siangku kelu

Malamku semu

Siang malamku menunggu

Hingga wajahmu membiru

Tuhan…

Jangan panggil aku

Ketika dosaku seperti debu!!

Februari, 2009


REMBULAN MERAH

Tuhan, Rembulan itu tampak memar

Di atas jembatan takdirku yang malang

Februari, 2009


LEMBARAN SEJARAH

Kau pernah menuturkan

Bahwa kereta tua itu peninggalan sejarah masa silam

Yang di dalamnya tersimpan hentakan tetes waktu yang tak pernah berhenti

setiap tetesnya menoreh sejarah kehidupan baru dan kematian setiap

makhluk

Kau pula pernah menuturkan

Bahwa kereta tua itu terlalu mesra terjebak dalam sketsa masa lalu

Hingga kini ia harus terjerembab dalam sampah peradaban

Siapa peduli mengais cerita kesengsaraan?

Bila kau merenungkan bahwa sejarah masa silam

Mengaung syahdu diantara kepalan-kepalan takdir yang telah dikebiri

Semuanya telah tergadaikan

Lagu kebangsaan tak lagi kebanggaan. Ia justru menjerit dalam kebangkrutan

Februari, 2009

read more “Rumah Puisi_03”