Author: .
•03.30

KALKULASI KEPENTINGAN DENGAN TERMA TERORISME
Oleh: Maltuf Ready*

Hal yang terpenting tentang Islam adalah bahwa kita harus membedakan dua wajah Islam. Pertama, lembaga Islam. Kedua, budaya Islam
(Gus Dur)

Stigma terhadap Islam sebagai agama kekerasan, teror, anti-HAM, anti-demokrasi, dan lain sebagainya, menjadi afirmatif ketika mendapat momentum pasca-peristiwa 11 September dulu dan realitas kebanyakan dunia Islam yang dipimpin oleh kekuasaan otoriter.

Perspektif barat terhadap Islam yang penuh deskripsi peyoratif merupakan generalisasi yang salah kaprah, sekaligus kegagalan memahami peradaban Islam secara holistik. Banyaknya aksi yang tidak adil terhadap umat Muslim di negara-negara Barat tidak lain bermula dari akar masalah persepsi yang timpang ini. Diskriminasi sosial yang sering menimpa sebagian umat Islam di dunia Barat adalah akibat korelasi pemahaman yang masih menyimpan trauma bahwa Islam mengajarkan kekerasan, ketidakadilan, dan sebagainya.

Dalam perspektif Barat, Islam erat kaitannya dengan model agama yang mendidik terorisme dan kekerasan. Munculnya tesis orientalis semacam Bernard Lewis yang melihat sisi buruk Islam politik atau Samuel Huntington dengan tesis benturan antar peradaban, lahir dari genealogi prasangka Barat yang memiliki kuasa kepentingan atas dunia Islam.

Di sinilah kritik Edward Said kembali relevan mengenai orientalisme (1978), bahwa Timur dipandang sebagai yang lain dan akhirnya menjadi truth claim untuk menyusun beragam teori, deskripsi politik, dan sebagainya. Orientalisme akhirnya menjadi proyek historis-materialis sebagai jenis pengetahuan Barat yang mempunyai tujuan mendominasi, merestrukturisasi, dan mendatangkan kekuasaan atas Timur.

Sebuah buku berjudul Western State Terrorism yang dieditori oleh Alexander George, mengkompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward S. Herman, Richard Falk, dan sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya (to employ terrorism as a tool of foreign policy). Prof. Edward S. Herman, guru besar di University of Pensylvania dan Gerry O’Sullivan menulis sebuah artikel berjudul “Terrorism as Ideology and Cultural Industry. Mereka menyebut terorisme sebagai industri multinasional, dimana terdapat hubungan erat antara pemerintah, sponsor swasta, institusi-institusi pemikir, cendekiawan, baik di dalam AS maupun utamanya antara AS, Israel, dan Inggris.

Semakin biasnya penggunaan istilah teroris adalah dalam kasus pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) di Shabra-Shatila pada 1982. Pembantaian itu jelas dilakukan oleh Tentara Kristen Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris.

Mengikuti perjalanan sejarah terorisme, mulai dari aksi-aksi bom bunuh diri hingga yang terbaru kemaren, peledakan dan penyanderaan di Hotel Taj Mahal, Mumbai, Rabu malam (26/11/2008) lalu, mengusik diri setiap orang dengan suatu pertanyaan seragam: apa yang melatarbelakangi pelaku teroris tersebut? Benarkah mereka melakukan tindakan tersebut semata-mata karena alasan ideologis semata atau adakah alasan lain di luar itu?. Meskipun pertanyaan ini sederhana, namun jawabannya tidaklah mudah.

Pertama, Satu hal yang harus kita akui bahwa, jika terorisme sekadar dikaitkan dengan ideologi atau agama tertentu, dengan melihat aksi-aksi terorisme yang terjadi di negara-negara Asia serta di dunia ketiga semisal Indonesia, pendapat tersebut sangat tidak relevan. Terorisme adalah sebuah kejahatan terorganisasi, lintas negara, yang kebetulan menunggang kepentingan sebuah ideologi dan bersembunyi di balik kedok agama. Karena pada dasarnya setiap agama menganjurkan pemeluknya menghindarkan kekerasan dalam penyelesaian suatu masalah, maka adalah sesat jika para teroris itu menyebut aksinya sebagai perintah agama, apalagi diklaim sebagai syuhada’ bagi pelaku teror yang mati saat melakukan teror bom bunuh diri atau mati karena dieksekusi.

Kedua, mengkritisi ulang akan dominasi pendekatan kebudayaan terhadap konflik-konflik Muslim-Barat, bahwa konflik-konflik itu tak dipicu oleh identitas budaya, agama atau peradaban, tetapi oleh sebuah kalkulasi kepentingan.

Seyogyanya pilihan untuk menggunakan kekerasan atau teror itu bukan merupakan cermin dari faktor ideologi, agama atau kultural. Tapi merupakan cermin dari faktor kalkulasi strategis atau kalkulasi kepentingan. Artinya, jika sebuah kelompok memilih untuk menggunakan pendekatan kekerasan atau kedamaian, maka bergantung pada kalkulasi insentif dan disinsentif atas tiap-tiap pendekatan tersebut. Perlawanan dan metodenya sering ditentukan oleh kalkulasi tersebut, tidak hanya kalkuasi ideologi, agama dan kultural.

Hal ini bisa kita lihat pada hubungan antara Amerika Serikat (AS) dengan kelompok mujahidin Afghanistan. Berbagai kelompok oposisi Afghanistan ini sebelumnya berada dalam barisan yang sama dengan AS saat berperang melawan pendudukan Soviet di Afghanistan pada tahun 1980-an. Saat itu, AS memandang kelompok ini sebagai pejuang kemerdekaan atau pahlawan. Tetapi kini, sebagian dari kelompok ini malah berperang melawan AS, kekuatan pendudukan baru. Sehingga AS dengan tanpa pandang bulu, men-cap kelompok ini sebagai teroris. Cara pandang masing-masing pihak ini terhadap tantangan, kepentingan, dan posisi masing-masing membuat mereka bersekutu atau bermusuhan.

Ketiga, istilah clash civilization-nya Samuel P. Huntington itu terlalu dipaksakan. Seakan-akan ada sebuah situasi konflik yang spesifik antara Muslim dan Barat. Pada hal konflik-konflik yang dinyatakan sebagai benturan peradaban tak pernah menyangkut agama semata. Hal ini bisa kita lihat pada Perang Salib, selain agama juga memiliki kepentingan politik dan tanah.

Anis Baswedan, Rektor Universitas Paramadina ini pernah mengungkapkan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah berbagai bentuk polarisasi yang selalu muncul sepanjang sejarah manusia. Baik polarisasi budaya, ideologi, ras, dan agama. Sedangkan polarisasi itu sendiri merupakan bagian dari fitrah kehidupan.

Meskipun demikian, motif-motif ideologis atau agama itu tentu ada tetapi hanya berjalan di tingkat mikro atau yang biasa disebut dengan motif-motif individual. Agama atau ideologi hanya alat yang dibajak untuk merekrut, memotivasi, serta menciptakan solidaritas para pelaku sebagai legitimasi. Konflik-konflik itu didengungkan sebagai konflik yang bersifat ideologis atau religius untuk menginspirasi para pengikut, melegitimasi perang sebagai just war, menarik sekutu, dan sebagainya.

Keempat, dalam kerangka pemahaman terhadap wacana ini, maka penting menggunakan analisa strategis rasional yang tujuannya adalah untuk mengetahui potensi konflik kekerasan yang mungkin timbul, sehingga bisa segera menemukan cara pencegahannya. Jika hanya menggunakan pendekatan kultural (cultural approach), sebuah pendekatan yang melihat tindakan seseorang atau kelompok dipengaruhi oleh variabel-variabel psiko-religius-kultural, maka dimungkinkan hanya akan berputar-putar saja, tanpa mengetahui bagaimana cara menangani konflik tersebut.

Kelima, penggunaan ideologi, kebudayaan, dan agama hanya sebagai senjata ampuh dalam menciptakan solidaritas dan integritas yang tinggi. Ini terjadi karena ketransendentalan dan kemesiahannya yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan di luar dirinya. Ketika tujuan di luar dirinya itu tercapai, ia bisa dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan strategis lainnya. Jika kemudian terjadi perubahan-perubahan geopolitik maka tidak impossibel merubah sekutu menjadi musuh.

Dua mata memahami Barat dan Timur

Ada hal yang menarik saat ini, dan ini juga bisa dikatakan peluang karena antara islam di barat dan barat di Islam masing-masing mempunyai ruang dialog. Islam sedang tumbuh dan hadir di pusat-pusat peradaban yang menonjol, seperti di kota-kota utama Amerika atau Eropa. Meskipun sebagai minoritas, Muslim di sana harus mampu menunjukan kepribadian yang baik, menegosiasikan nilai-nilai Islam melalui bahasa peradaban tuan rumah, menjadi bagian dari kekayaan peradaban tersebut.

Demikian pula yang dialami oleh orang-orang Barat yang tinggal di negara-negara Muslim (Timur). Di tangan duta besar masing-masing elemen inilah masa depan hubungan Muslim dan Barat terletak, karena mereka memiliki posisi istimewa untuk menjadi bagian dari masyarakat Muslim maupun Barat.

Sedangkan persepsi, paradigma, penafsiran, serta corak pemikiran Barat atas Islam yang kurang sedap harus secepatnya didekonstruksi. Hakikatnya, kegagalan Barat yang memandang sebelah mata terhadap Islam, sejatinya merupakan kegagalan proses dialog. Akibat kesalahan dialog tersebut akhirnya menyimpan prasangka yang berlebihan serta menggeneralisasi realitas umat Islam.

Jadi, sebagaimana diktum Akh. Muzakki saat diskusi Team Manhaj kemaren, bahwa representasi barat terhadap Timur, begitu pula sebaliknya, akan menuai hasil positif. Implementasi opini ini dalam skala kecil akan memandang bahwa terorisme di berbagai belahan dunia, termasuk teror di Hotel Taj Mahal, Mumbai, yang notabene sebagai pusat perekonomian India, tidak akan dipandang sebelah mata, banyak kalkulasi kepentingan yang perlu dianalisis bersama. Jika interpretasi terorisme sebagai kejahatan timur terhadap barat, lantas disebut apakah kejahatan yang dilakukan barat terhadap Timur?.


* Penulis adalah koodinator Lingkar Pena Mahasiswa Surabaya

|
This entry was posted on 03.30 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 komentar:

On 14 April 2009 pukul 07.56 , . mengatakan...

Pertama salam kenal buat maltuf ready. kedua, saya harap kamu bisa membagi pengalaman menulis karena saya juga ingin bisa menulis

Via
UIN Bandung