Author: .
•10.50
Dear: M I L A
Oleh: MALTUF READY

MILA, begitulah orang-orang di sekelilingnya memanggil namanya. Sebuah nama yang cukup sederahana sama seperti kepribadiaan yang dimilikinya. Sikap yang lemah lembut, ramah, suka menolong orang lain merupakan ciri khasnya. Ia selalu tampil apa adanya. Tidak seperti gadis-gadis lain pada umumnya. Namun orang-orang di sekitarnya begitu menyayanginya, lebih-lebih keluarganya. Mereka memperlakukan Mila sama seperti anak perempuannya sendiri.

Sejak ayahnya pergi, ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Ia depresi. Oleh karenanya, Mila harus banting tulang untuk menghidupi keluarganya karena ia adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Kedua saudaranya masih kecil. Tidak tahu apa-apa. Meskipun usianya masih terlalu muda namun Mila harus mengemban beban hidup yang cukup berat. Ia harus membiyayai sekolah adik-adiknya, juga harus membiyayai pengobatan ibunya.

Sudah menjadi kebiasaannya, setiap pagi, Mila pergi ke sawah yang ia miliki. Ia bekerja layaknya petani pada umumnya. Bekerja keras di bawah terik matahari yang menyengat. Ia tidak kenal lelah meskipun sesekali ia berhenti untuk mengelap keringatnya yang berleleran di dahi dan lehernya dengan ujung baju lengan panjang yang kini tampak agak basah oleh keringatnya. Caping petani dengan setia bertengger di kepalanya. Senyum terukir sekilas pada ujung bibirnya saat matanya memandang tak sengaja pada sebuah pohon pisang yang berdiri tegak di ujung lahannya.

Tak terasa siang telah tiba. Mila segera berkemas untuk pulang meskipun pekerjaannya belum terselesaikan. Tak terlihat sedikitpun rasa lelah meskipun wajahnya tampak kumuh dan berantakan. Ia tetap bersemangat dan tegar untuk melanjutkan pekerjaan yang ada di rumahnya. Bahkan ia melakukan pekerjaannya dengan senang hati. Begitulah hari-hari yang dilaluinya penuh dengan kesibukan hingga tak ada waktu luang untuk beristirahat di siang hari. Tuhan, berikan aku kemudahan untuk melakukan apapun yang aku inginkan. Katanya.
* * *
Suatu hari, Mila tidak kembali ke rumahnya. Saudara-saudaranya menangis tersedu-sedu. Maklum mereka masih terlalu kecil. Sementara ibunya tak bisa berbuat apa-apa karena dia masih shock sejak ditinggal pergi oleh suaminya. Orang-orang disekitarnya berduyun-duyun mendatangi sebuah rumah kecil yang menjadi tempat tinggal Mila sekeluarga. Mereka tampak panik. Seperti halnya seorang ibu yang sedang mencari anaknya. Mereka hanya saling bertanya antara yang satu dengan yang lain. Namun tak ada yang tahu dengan keberadaannya. Lalu orang-orang yang berada disana tak berpikir panjang lagi, Mereka langsung menuju sebuah tempat di mana Mila bekerja, tapi mereka tak dapat menemukan apa yang mereka cari. Tak lama kemudian, kabar tentang hilangnya Mila sudah menyebar ke seluruh pelosok di desa itu.

“Kak Mila, kau dimana?.” Ucap adiknya seraya menangis. Isak tangisnya mengalun perih diantara rumah kecil yang tak begitu lestari. Bersimpuh pahit dalam dekapan hangat seorang ibu yang tengah mengalami depresi. Ia tak dapat berbuat apa-apa selain menangis. Tiba-tiba seorang perempuan setengah baya menghampirinya. Perempuan setengah baya itu adalah bu Nur, seorang janda yang sudah bertahun-tahun ditinggal suaminya. Ia memiliki nasib yang sama seperti ibunya Mila. Namun ia tidak memiliki keturunan. Oleh karenanya, perempuan itu begitu menyayangi Mila dan adik-adiknya. Bahkan perempuan itu menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. “Sudahlah Nak! Sebentar lagi kakakmu pasti akan pulang”. Katanya sambil mengelus-ngelus rambutnya.
Esok harinya, terdengar kabar dari seorang pengembala kambing. Katanya, ada seorang perempuan terbaring di sebuah hutan kecil yang tak jauh dari perkampungan itu. Ia terkulai lemas tanpa busana sehelaipun. Warga yang ada di perkampungan itu panik mendengarnya, lebih-lebih kerabat Mila. Dengan segera, mereka berbondong-bondong menuju ke hutan itu. Setelah sampai di hutan, mereka melihatnya dengan mata terbelalak setengah tidak percaya. Ternyata perempuan di hutan itu adalah Mila. Mila yang sejak kemarin hilang. Di sekitarnya terdapat bekas-bekas pemerkosaan. Entah siapa yang memperkosanya. Tak ada yang tahu. Lalu, beberapa orang diantara mereka segera mengangkat tubuh Mila dan membawanya pulang ke rumahnya. Di rumahnya, Mila disambut dengan tangis yang menderu-deru. Kedua adiknya yang masih kecil histeris. Sementara ibunya terlihat lemas, tak berdaya. Kelopak matanya basah lalu mengeluarkan pilu yang menurut bangsa keturunan primata seperti manusia, dinamakan airmata.

Tiba-tiba sepi menyelimuti rumah itu. Langit tidak tampak cerah. Angin berdesir perlahan dengan sayup-sayup tidak menggairahkan. Semua orang yang ada di rumah itu terdiam. Membisu. Namun, mereka tetap setia menunggu Mila terbangun dari mimpi buruknya. Di dekatnya, bu Nur menjaganya sambil membelai-belai rambutnya yang lurus terurai.
“Mila, Kenapa harus namamu yang tertulis dalam lipatan takdir Tuhan. Kenapa pula di usia muda ini kau harus bersahabat dengan musuh semua perempuan. Perempuan manapun tidak akan pernah menginginkan terlibat dalam cerita kesengsaraan ini. Bila kau menuturkan bahwa babad hari ini mengalun perih diantara kehidupan yang telah dikebiri. Semoga kau tetap tegar dan sabar dalam mengarungi kehidupan ini.” Bu Nur berkata dengan nada lirih. Wajahnya tampak memerah. Seolah ia ingin melampiaskan sesuatu pada orang yang telah membuat Mila terbaring tak sadarkan diri.

Menjelang sore, Mila kembali sadar. Ia siuman. Semua yang ada di tempat itu sedikit lega meskipun hatinya tersayat-sayat. Dengan segera mereka langsung meghampiri Mila untuk menanyakan keadaannya. Tapi, Mila malah berteriak dan menutup wajahnya dengan jari-jarinya. Jangan…jangan…jangan!!. Ucapnya. Tampaknya ia mengalami trauma dengan kejadian yang telah menimpanya kemarin. lalu dengan segera bu Nur menghampirinya. “Mila, ini bu Nur,!.” Katanya seraya menenangkan.
Rasa kecewa selalu datang ketika hidup ini berbenturan dengan realitas. Sama halnya dengan kehidupan yang tengah di jalani Mila saat ini. Hari-harinya berubah pucat pasi. Tak ada gairah dalam hidupnya. Ia selalu murung. Harapannya untuk menjadi seorang perempuan telah memudar. Semuanya telah hancur. Ibarat kerajaan yang tengah mengalami kekalahan akibat pertahanan terakhirnya telah hancur lebur.
* * *
Pagi itu matahari belum menampakkan semburat sinarnya. Tampaknya sang surya masih terlelap di peraduan angkasanya. Kabut semi transparan juga masih menguasai sebagian badan jalan. Tetes embun belum memuai menjadi uap air dan menyatu dengan udara, menyebabkan udara makin lembab. Sayup angin seakan menguak sebab keheningan di beberapa lorong sempit di perkampungan tersebut. Makhluk-makhluk belum menampakkan diri. Masih bersemayam di balik selimut kehangatan.
Tiba-tiba seperti ada yang menggiring Mila untuk melangkah. Ia tidak tahu pasti apakah ia berjalan di atas tanah, atau di udara. Yang ia rasakan tubuhnya begitu ringan, seolah melayang-layang. Lalu, ia tiba di suatu tempat, entah dimana. Ia tidak mengenalnya. Ia tercengang di tempat itu. Ia berdiri bak patung di tengah kota. Tatapannya tertuju pada sebuah bukit kecil yang tak jauh dari pandangannya.

“Kau tak adil padaku.” Teriaknya dengan lantang. Entah kepada siapa ucapan itu ditujukan. Tak ada yang tahu selain Tuhannya. Pada bibirnya tersungging kekecewaan yang begitu mendalam. “Kenapa Kau ciptakan takdirku seperti ini. Nasibku merana menjadi hamba terhina. Apa Kau tidak melihat perbuatan mereka padaku.” Lanjutnya. Ia diam sesaat, mengatur tingkat emosi yang semakin meluap-luap dalam dirinya. Sesekali ia mengusap matanya dengan punggung tangannya.
“Kenapa kau tetap diam. Apa kau bisu, tuli. Katanya, kau selalu mendengarkan keluh kesah semua hamba-Mu. Mana buktinya. Jika Kau memang adalah Sang Penguasa raja di atas segala raja, buktikan padaku!”. Teriaknya makin kencang. Kini, Mila berubah drastis. Dulunya dikenal sopan, ramah dan suka menolong orang lain tapi saat ini ia begitu hingar-bingar. Tidak seperti Mila yang tinggal di perkampungan itu. Tampaknya ia tidak terima dengan kenyataan buruknya. Ia tidak sanggup lagi untuk mengangkat wajahnya di depan orang lain. Tangis dan teriakannya tak ada gunanya karena tak akan bisa mengembalikan tubuhnya ke kondisi semula. Ia merenung beberapa menit ke depan ketika matahari kian meninggi. Dengan tenang ia kemudian menatap awan yang berkelebat di atasnya. Lalu, dengan cepat ia menjatuhkan tubuhnya ke sebuah jurang yang terletak di samping kirinya. Ia merengang. Tubuhnya tergeletak bermandikan darah. Darah itu kemudian mengalir ke seluruh penjuru.

Surabaya, 220509
read more “Rumah Cerpen 04”
Author: .
•21.45
KETIKA HIDUP HARUS DIPERTAUTKAN
Oleh: Maltuf Ready *

Kehidupan ini begitu membosankan. Orang-orang di sekeliling aku selalu mentertawakanku, mengejekku. Katanya, aku stres, gila dan sebagainya. Aku tak tahu apa tujuan mereka menghinaku seperti itu. Sejenak, aku mulai memperhatikan seluruh pakaianku, penampilanku, biasa-biasa saja. Tidak seperti layaknya orang gila. Apa sebenarnya yang salah dalam diriku. Aku benar-benar bingung.

Esok harinya, aku mengalami nasib yang sama seperti kemarin. Tapi kali ini aku benar-benar jengkel dan dibuatnya marah. Marah karena mereka begitu antusias untuk menghujatku, mempermalukanku di depan umum hingga aku tak sanggup lagi mengangkat wajahku. Aku menjadi terasing di negeriku sendiri. Entahlah, hanya tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka. Aku hanya bisa berharap suatu saat aku bisa menggapai sejuta keinginan dari sisa hidupku ini.

“Kau tak akan pernah bisa menggapai kesmpurnaan itu, karena kesempurnaan hanya milik tuhan”. Ia berkata dengan acuh tak acuh. Pada bibirnya tersungging senyum tipis seolah menyimpan tawa melihat keberadaanku. Aku hanya terdiam. Aku tak kuasa berontak karena aku hanya seorang diri, sementara mereka sudah menjadi komunitas kecil yang disegani banyak orang. Katanya, komunitas itu merupakan tempat berkumpulnya orang-orang cerdas. Kuakui, mereka memang cerdas karena mereka rajin membaca buku dan berdiskusi. Tapi aku tak suka dengan keberadaannya karena mereka seringkali mendahulukan egoisitasnya daripada intelektualitasnya.

Ah, menjenuhkan sekali hari ini. Aku tak pernah bermimpi sebelumnya kalau semua ini akan terjadi seperti ini. Aku tak habis pikir, Kenapa mesti aku yang disalahkan. Kuakui, dulu, aku memang pernah menjadi bagian dari komunitas itu, tapi sekarang aku harus pergi untuk menggapai cerahnya masa depanku. Aku meninggalkan mereka hanya untuk mencari esensi kehidupan. Salahkah bila aku menentukan hidupku sendiri demi kesempurnaan hidup. Salahkah pula bila aku menempuh jalan yang berlainan tapi tujuannya sama. Memang, kita dilahirkan dari ibu yang sama, yakni ibu pertiwi. Tapi akankah kita harus sama dalam segala hal. Bukankah Muhammad dahulu pernah bilang, bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Perbedaan-lah yang bisa membuat hidup ini terasa lebih indah. Apakah kau tak merasakan itu? Gumamku.
* * *
Tiga hari kemudian, sehabis kuliah, tiba-tiba aku dipanggil seorang lelaki ke salah satu kantor UKM di kampusku. lelaki itu adalah Andri yang merupakan manajer di komunitas itu. Di sampingnya, duduk seorang lelaki berambut agak panjang. Ia adalah sekretarisnya yang selalu setia menemani Andri kemanapun ia pergi. Aku kenal meraka sejak pertama kali aku mengikuti diskusi pada pertangahan tahun 2007 lalu. “Akhir-akhir ini kau semakin aneh, apa yang sebenarnya terjadi? Katanya sambil membetulkan duduknya. Aku hanya terdiam. Aku tak bisa mendongakkan kepala karena bagaimanapun pasti aku yang salah di mata mereka. Dan bahkan mereka akan mengecapku sebagai pengkhianat karena aku telah melanggar komitmen yang telah disepakati bersama. “Kenapa kau nekad lari dari komunitas kami. Apakah kau bisa menjamin hidupmu akan lebih baik setelah kau keluar dari komunitas yang telah kita bangun bersama dengan susah payah?”. Lanjutnya.

“Aku tidak pernah bimbang dengan tekad yang kupilih karena ini adalah hasil ikhtiarku. Aku pergi karena aku menginginkan kesempurnaan hidup. Aku ingin mengejar cita-citaku. Salahkah bila aku menginginkan yang terbaik buat aku, kita, bangsa dan negara. Tidakkah kau ingat pesan para leluhur kita, bahwa kita adalah penerus bangsa dan negara, dan di tangan kita tergenggam arahnya. Kita hidup di dunia ini dengan mengemban berjuta-juta tanggung jawab. Sadarkah kau akan hal itu?”. Ucapku seraya meyakinkan. Kulihat lelaki yang tidak lain adalah Andri itu hanya terdiam sembari menundukkan kepalanya. Sepertinya, ia sudah mulai paham dan menerima semua penjelasanku. Hatiku lega seketika, ternyata Andri masih tetap bijaksana seperti dulu. Seperti halnya ketika aku masih menjadi bagian dari komunitasnya. Andri memang sosok yang bijaksana. Ia tidak pernah pilih-pilih teman. Dan juga tidak pernah memihak ke siapa-siapa ketika aku tersangkut masalah dengan teman-temannya. Ia selalu menjadi penengah dalam setiap persoalan. Oleh karenanya, ia disukai banyak orang, khususnya mahasiswa yang kuliah di kampus ini.

“Kalau dipikir-pikir, perkataanmu ada benarnya juga. Kita memang belum sempurna dalam segala hal. Jadi, apa salahnya kalau kita mencoba membenahi diri untuk mencapai kesempurnaan hidup”. Ucap lelaki yang duduk di samping Andri. Lelaki itu seolah membenarkan semua penjelasanku. Kulihat ia hanya tersenyum tipis. Sesekali ia meminum kopi yang ada di depannya. Tak lama kemudian, ia mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Diambilnya satu batang lalu ditaruh di bibirnya. Dari saku celananya ia mengambil korek api dan membakar rokok itu. Setelah itu ia meletakkannya tepat di depanku.
“Memang benar sih tapi kita harus tahu satu hal, ketika kesempurnaan menjadi tuntutan utama, ketika itu pula ketidaksempurnaan akan dipertanyakan. Namun ketidaksempurnaan itulah yang harus dicintai dengan sempurna. Pernahkah kita berpikir sempurna ketika ketidaksempurnaan itu harus dipertautkan?”. Andri melanjutkan pembicaraannya. Ia mencoba menjadi penengah. Dari nada bicaranya sudah mulai kelihatan bahwa ia adalah sosok yang bijaksana dan berwibawa.

Suasana ruangan tiba-tiba sepi. Tak ada yang berani angkat bicara setelah mendengar perkataan Andri tadi. Aku tertunduk sembari mengangguk-anggukan kepala. Aku tak tahu siapa sebenarnya yang benar dan siapa yang salah. Aku sebagai manusia tentunya masih jauh dari sempurna. Aku telah meninggalkan sesuatu yang menurutku tidak sempurna karena aku hanya menginginkan yang sempurna tapi mungkinkah aku dapat meraihnya. Bukankah ketidaksempurnaan itu harus kita cintai dengan sempurna seperti yang dikatakan Andri tadi. Aku bingung. “Tuhan, dekatkan aku pada sesuatu yang mendekati kesempurnaan.” Ucapku dalam hati.

Tak terasa waktu sudah sore. Cakrawala di hiasi gugusan warna kuning keemasan. Saat itu kulihat matahari sepertinya sudah mulai beranjak ke peraduannya. Andri dan sekretarisnya masih tetap terdiam. Aku tak punya keberanian untuk intrupsi, padahal aku ingin pulang ke kost karena aku belum melaksanakan kewajibanku sebagai warga muslim yang taat. “Sudahkah kau shalat ashar?”. Tiba-tiba suara Andri memecah keheningan. “Kalau memang belum shalat, shalat disini saja karena sebentar lagi adzan maghrib”. Lanjutnya. Aku hanya menganggukkan kepala ketika ditanya oleh Andri. Tanpa berpikir panjang aku langsung menuju kamar mandi yang terletak di pokok kiri ruangan. Aku berwudlu’ lalu shalat.

Setelah selesai shalat, Andri memanggilku. kemudian dengan segera aku kembali ke tempat yang tadi. Katanya, masih ada yang ingin dibicarakan. Aku langsung duduk di depannya. “Apa yang kau rencanakan selanjutnya, apakah kau tetap pada pendirianmu untuk meninggalkan komunitas ini?”. Tanya Andri. Aku hanya tertegun. Mulutku tiba-tiba kelu katika dihadapkan pada dua pilihan yang menurutku sama-sama baik. Aku bingung harus pilih yang mana. Dalam hati aku cendrung lebih memilih keluar dari komunitasnya tapi konsekwensinya mereka akan memusuhiku, menghinaku seperti kemarin-kemarin.

“Dapatkah kau mengabulkan permintaanku?. Aku tak akan keluar dari komunitas ini asalkan aku boleh menentukan jalan hidupku sendiri. Jujur, aku merasa terkekang sejak aku bergabung dalam komunitas ini. Seolah-olah aku didoktrin untuk mengikuti ideologi mereka. Aku tidak suka ada pemerkosaan karakter seperti itu”. Andri tertegun mendengar permintaanku. Raut wajahnya tampak lesu, seolah ia keberatan dengan segala keputusanku. Begitu pula dengan lelaki yang duduk di sampingnya. Ia tak berkomentar apa-apa. Dalam hatinya mungkin menggerutu. Ia hanya memandangi Andri dengan tatapan bingung. Hening. Tak lama kemudian Andri mulai angkat bicara.

“Keberadaan komunitas ini masih jauh dari yang kita harapkan. Ia ibarat sebuah bangunan. Tak akan berdiri kokoh kalau kita mengecornya dengan amarah. Kehidupan ini memang absurd. Tidak bisa ditebak dan diukur panjangnya. Begitu pula dengan manusia. Ia juga absurd karena tidak bisa ditebak nasibnya. Haruskah kita mempertautkan itu untuk kepentingan diri sendiri?”. Tegasnya. Aku lega seketika dengan keputusannya yang terakhir ini. Ternyata mereka masih bersedia menerimaku kembali. Terima kasih, Tuhan!. Mungkin ini anugerah terbaik yang kau kirimkan untukku.

*Penulis adalah mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saat ini aktif pada Forum Pecinta Satra dan Seni (FORSENI) di Surabaya.
read more “Rumah Cerpen_02”