Author: .
•21.44
PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER
(Sebuah upaya untuk membentuk karakter anak di sekolah)


Pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan warga negara yang memiliki karakter kuat sebagai modal dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat merupakan produk dari pendidikan yang bagus dan mengembangkan karakter. Ketika mayoritas karakter masyarakat kuat, positif, dan tangguh maka peradaban yang tinggi dapat dibangun dengan baik dan sukses. Sebaliknya, jika mayoritas karakter masyarakat negatif, dan lemah maka mengakibatkan peradaban yang dibangun menjadi lemah sebab peradaban tersebut dibangun dalam fondasi yang amat lemah.

Karakter bangsa adalah modal dasar membangun peradaban tingkat tinggi, masyarakat yang memiliki sifat jujur, mandiri, bekerja-sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos kerja tinggi akan menghasilkan sistem kehidupan sosial yang teratur dan baik. Ketidakteraturan sosial menghasilkan berbagai bentuk tindak kriminal seperti kekerasan dimana-dimana, terorisme, korupsi semakin merajalela, dan lain-lain.

Oleh karena itu, pendidikan harus terus didorong untuk mengembangkan karakter bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat sehingga pada gilirannya bangsa Indonesia akan mampu membangun peradaban yang lebih maju dan modem.
Pembentukkan karakter (character building) mempunyai beberapa fungsi strategis untuk menumbuhkan kesadaran diri. Kecakapan kesadaran diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, sebagai bagian dari lingkungan, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal untuk meningkatkan diri sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun lingkungannya. Dengan kesadaran diri sebagai hamba Tuhan, seseorang akan terdorong untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, serta mengamalkan ajaran agama yang diyakininya. Pendidikan agama bukan dimaknai sebagai pengetahuan semata, tetapi sebagai tuntunan bertindak berperilaku, baik dalam hubungan antara dirinya dengan Tuhan, maupun hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya. Kesadaran diri merupakan proses internalisasi dari informasi yang diterima yang pada saatnya menjadi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan diwujudkan menjadi perilaku keseharian. Oleh karena itu, walaupun kesadaran diri lebih merupakan sikap, namun diperlukan kecakapan untuk menginternalisasi informasi menjadi nilai-nilai dan kemudian mewujudkan menjadi perilaku keseharian.

Kecakapan kesadaran diri tersebut dapat dijabarkan menjadi: pertama, kesadaran diri sebagai hamba Tuhan diharapkan dapat mendorong yang bersangkutan untuk beribadah sesuai dengan tuntutan agama yang dianut, berlaku jujur, bekerja keras, disiplin dan amanah terhadap kepercayaan yang dipegangnya. Bukankah prinsip itu termasuk bagian dari akhlak yang diajarkan oleh semua agama?

Kedua, kesadaran diri bahwa manusia sebagai makhluk sosial akan mendorong yang bersangkutan untuk berlaku toleran kepada sesama, suka menolong dan menghindari tindakan yang menyakiti orang lain. Bukankah Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling menghormati dan saling membantu? Bukankah heterogenitas itu harmoni kehidupan yang seharusnya disinergikan?

Ketiga, kesadaran diri sebagai makhluk lingkungan merupakan kesadaran bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai kholifah di muka bumi dengan amanah memelihara lingkungan. Dengan kesadaran itu, pemeliharaan lingkungan bukan sebagai beban, tetapi sebagai kewajiban ibadah kepada Tuhan, sehingga setiap orang akan terdorong untuk melaksanakan.

Keempat, kesadaran diri akan potensi yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebenarnya merupakan bentuk syukur kepada Tuhan. Dengan kesadaran itu, siswa akan terdorong untuk menggali, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan potensi yang dikaruniakan oleh Tuhan, baik berupa fisik maupun psikologis. Oleh karena itu, sejak dini siswa perlu diajak mengenal apa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki (sebagai hamba Tuhan) dan kemudian mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki dan memperbaiki kekurangannya. Jika siswa menyadari memiliki potensi olahraga, diharapkan akan terdorong untuk mengembangkan potensi tersebut menjadi olahragawan yang berprestasi. Demikian pula untuk potensi jenis lainnya. Walikelas, guru bimbingan konseling, guru bimbingan karier, bahkan semua guru perlu dan dapat berperan dalam mendorong siswa mengenal potensi yang dimiliki dan mengoptimalkan menjadi prestasi belajar.
Kelima, kesadaran tentang pemeliharaan potensi diri (jasmani dan rohani) diharapkan mendorong untuk memelihara jasmani dan rohaninya, karena keduanya merupakan karunia Tuhan yang harus disyukuri. Oleh karena itu, menjaga kebersihan, kesehatan, baik jasmani maupun rohani, merupakan bentuk syukur kepada Tuhan yang dilakukan. Berbagai mata pelajaran dapat menjadi wahana pengembangan kesadaran diri seperti itu, misalnya biologi dan olahraga dapat menjadi wahana yang sangat bagus untuk kesadaran memelihara jasmani, sedangkan agama, kewarganegaraan, sastra dapat menjadi wabana pemeliharaan rohani. Sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, potensi yang dikaruniakan kepada kita harus dikembangkan, sehingga setiap orang harus mengembangkan potensiyang dikaruniakanNya. Pengembangan potensi dilakukan dengan mengasah atau melatih potensi itu. Dan itu berarti setiap orang harus terus-menerus belajar.
Jika kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial dan makhluk lingkungan, serta kesadaran akan potensi diri dapat dikembangkan akan mampu menumbuhkan kepercayaan diri pada anak didik, karena mengetahui potensi yang dimiliki, sekaligus toleransi kepada sesama teman yang mungkin saja memiliki potensi yang berbeda.

Tentunya, pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep dan metodologi dengan pendidikan moral, seperti kewarganegaraan, budi pekerti, atau bahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the goog, and acting the good yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Sedangkan pendidikan moral, misalnya kewarganegaraan dan pelajaran agama hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan) tanpa ada apresiasi (emosi) dan praktik. Sehingga jangan heran kalau banyak manusia Indonesia yang hafal isi Pancasila atau ayat-ayat suci, tetapi tidak tahu bagaimana membuang sampah yang benar, berlaku jujur, beretos kerja tinggi, dan menjalin hubungan harmonis dengan sesama.
Dalam hubungan ini maka pendidikan harus mengandung tiga unsur: (a) belajar untuk tahu (learn to know). (b) belajar untuk berbuat (learn to do). (c). belajar untuk bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih diarahkan untuk membentuk having, agar sumber daya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih diarahkan pada proses being menuju pembentukan karakter bangsa. Kini, unsur itu menjadi amat penting. Pembangkitan rasa nasionalisme, yang bukan ke arah nasionalisme sempit, penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara; pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitivitas sosial dan lingkungan dan sebagainya merupakan beberapa hal dari unsur pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama. Pendidikan dari unsur ketiga ini sudah semestinya dimulai sejak Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi. Wallahu A’lam Bisshowab.
read more “Opini”