Author: .
•19.42
MEMBENDUNG PENEGAKAN SYARI’AH DAN KHILAFAH 
DI INDONESIA

Oleh: Malthuf Ready )*

Meskipun perbincangangan khilafah bukan hal yang baru, tetapi efek dan gejala yang ditimbulkannya tetap menjadi sesuatu yang hangat untuk diperbincangkan. Khilafah akhir-akhir ini menjadi tema pembicaraan aktual yang ramai di bahas dalam forum dan kesempatan, pembicaraan tersebut berusaha mendiskripsikan konsep khilafah dari berbagai sudut pandangan, tergantung dari motif yang mewarnai kepentingan mereka. 
Beberapa waktu lalu kalangan politik dari partai politik Islam tertentu membuka perdebatan publik dengan tajuk upaya memasukkan kembali tujuh kata “...dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya“ ke dalam Preambule UUD 1945. 
Hal tersebut memang terkesan sangat ahistoris, mereka seakan melupakan fakta sejarah bahwa perdebatan di parlemen tahun 1950-an tentang apakah Islam atau Pancasila yang “ seharusnya“ menjadi landasan konstitusi telah menguras segala daya bangsa ini. Diketahui bahwa kelompok Islam militan memiliki preferensi terhadap institusi khilafah dibandingkan dengan institusi kepresidenan yang dihasilkan oleh sistem ketatanegaraan modern, preferensi seperti itu berangkat dari asumsi bahwa institusi khilafah memiliki otoritas kelembagaan yang secara hukum mengikat karena khilfah yang di buat dan dilakukan pada masa ideal Islam (the islamic era par-excellence) merupakan wujud dari sebuah tatanan politik ideal, dengan memberlakukan kembali institusi khilafah, maka kehidupan bernegara kaum Muslim di zaman modern ini akan berada di bawah payung kelembagaan politik Islam yang autentik, pandangan yang semacam ini tentu sangat sulit di carikan landasan argumentasinya, berbagai data historis menunjukkan bahwa khilafah sebenarnya tidak termasuk bagian dari doktrin keagamaan, tetapi kategorinya masuk ke dalam institusi sosial, sebagai institusi sosial, konsep khilafah selalu berubah secara dinamis, mengikuti dinamika sosial yang terjadi sekarang. 
Di Indonesia masih terjadi pro dan kontra tentang gerakan khilafah, ini bisa kita lihat pasca digelarnya konferensi khilafah internasional di Stadion Glora Bung Karno pada tanggal 12 Agustus 2007 lalu yang memicu terjadinya perdebatan, bagi yang pro yang menganggap bahwa syari’at Islam adalah solusi terhadap persoalan bangsa, sedangkan yang kontra malah sebaliknya semakin ‘gerah’ dengan adanya syari’at dan khilafah. 
Ada beberapa hal yang sebenarnya sudah dilakukan mereka (Gerakan Pro syari’at). Mereka secara taktis sudah merasuki Umat islam dengan membawa bendera baru islam. Selain itu juga, mereka ada dalam ranah politik. Namun, mereka masih saja meresahkan adanya penghalang yang dapat membendung penegakan syari’at islam. 
Faktanya, Jika dibuka lagi beberapa pernyataan dan rekomendasi dari lembaga think thank yang memberikan nasehat kepada pemerintahan AS, baik Nixon Center, Zeno Baran, The Haritage Foundation maupun ICG maka kita akan temui minimal 4 asumsi strategi yang mereka susun untuk membendung (tidak mendukung) gerakan Syari’ah di Indonesia. Asumsi ini ada dalam pandangan yang Pro terhadap syari’ah. Versi pembendungan gerakan syariah dilakukan oleh orang yang tidak sepakat Khiafah didirikan di Indonesia.
Pertama: Publikasi dan propaganda opini sekaligus pemikiran yang seolah-olah dari Islam namun sebenarnya sangat jauh dari pemikiran Islam, bahkan dikatakan tidak ada akarnya dalam Islam, seperti Hak Asasi Manusia (HAM), Feminisme, Pluralisme, dan lain-lain . Targetnya bukan hanya membuat rancu pemikiran Islam namun lebih dari itu, yaitu “melenyapkan“ Islam itu sendiri. 
Sebagai contoh, munculnya pemikiran negara sekuler sebagai bentuk negara yang harus dipaksakan kepada seluruh kaum Muslim dan menyerukan penafian atau tidak mengakui kekhilafahan global (sistem pemerintahan Islam Global). Jelas ini adalah bentuk ‘pembunuhan‘ terhadap pemikiran Islam itu sendiri. Yakni menolak, sesuatu yang berasal dari nash namun di sisi lain mengajukan suatu argument yang tidak berasal dari nash namun di bungkus dengan dalil.  
Asumsi ini terkoptasi bagi para orang-orang pendukung syari’at islam, mereka masih menyangka bahwa islam tidak mengajarkan kebebasan dan Hak Asasi Manusia yang secara fitrah adalah Sunnatullah dan Nabi. Dalam alur Sejarah, Muhammad terlahir kedunia untuk memberikan hak-hak manusia kepada dirinya. Disatu sisi sang revolusioner dunia itu juga mengedepankan Hak Perempuan dalam ranah Islam. 
Sebagaimana rekomendasi The Nixon Center, bahwa untuk membendung gerakan syari’at perlu dilakukan pengajaran Islam dimana mengijinkan pemikiran sekolah non-Islam untuk diperkenalkan ke kaum Muslim Barat. Selain itu juga di upayakan juga menciptakan ‘Ulama terdidik’, maksudnya adalah menciptakan ulama yang berasal dari Islam namun secara sejarah telah toleran. Ulama harus tahu bentuk tentang HAM, pluralisme, dan lain-lain. 
Dan selayaknya bagi umat Islam Indonesia sudah harus mengetahui bahwa apa yang ada dalam al-Qur’an lebih banyak hal toleransi bukan memaksakan kehendak. Pada surat al-Kafirun Misalnya, merupakan ayat yang mengandung toleransi yang cukup tinggi. Tidak perlu bagi kaum muslimin untuk memaksakan suatu agama terhadap orang lain. Biarlah, agamaku (islam) dan agama mereka (selain Islam). Ini menjadi bukti kongkret bahwa islam juga mengajarkan kebebasan dalam memeluk agama. 
Asumsi islam tidak mengajarkan HAM dan lain sebagainya, seperti yang disangkakan adalah hal yang salah. Propaganda yang selayaknya dilakukan oleh orang Muslim adalah mebentuk opini bersama bahwasanya islam adalah agama toleransi dan al-Qur’an mengajarkannya. Cukup banyak contoh tentang hal tersebut. 
Kedua: Memunculkan tokoh-tokoh anti syari’at, baik dari kalangan sekuler maupun Islam. Dalam kasus ini, Amerika Serikat senantiasa mendorong penguasa untuk tidak saja menghancurkan Islam yang dianggap ‘radikal’ tapi juga mempromosikan alternatif-alternatifnya. Artinya, tokoh-tokoh pro syari'ah diberi stigma buruk, sedangkan yang menentang Syari’ah justru dipuji-puji. Pencitraburukan terhadap tokoh yang pro Syari’ah terus dan dilakukan. Walaupun sudah terbukti secara hukum bahwa Ust. Abu Bakar Ba’asyir –misalnya- tidak terbukti melakukan dan menjadi otak terorisme di Indonesia, namun upaya-upaya untuk melebelkan beliau dengan tindak terorisme masih terus dilakukan. 
Stigma agama teroris sebenarnya dibuat sendiri bukan malah negara atau konstruksi eropa atau Amerika. Pemahaman yang dangkal akan makna jihad adalah latar belakang terjadinya kekerasan berlabelkan agama. Contoh gampangnya adalah majalah serta seruan untuk berjihad. Di Idonesia ada Jihadmage yang selalu memberikan arahan bagi umat Islam untuk ikut campur dalam hal peperangan yang sebenarnya bukan agama melainkan adalah persoalan Negara dan Politik ekonomi belaka. 
Stigma lainnya, dikala para Ulama’ dengan jelas menyerukan penyerangan terhadap orang yang beragama lain. Ini terbukti dengan timbulnya tindak kekerasan yang melabelkan Jubah dan Baju putih. Greet Wilder menimbulkan Islam sebagai agama kekerasan, diakibatkan banyaknya imigran yang ada di sana, sehingga kekuasaan politik liberal akan tertindas. Tanpa ajaran toleransi dan memaksakan syariah dalam Negara yang terbentuk bukan negara islam maka hal nihil dilakukan. 
Ketiga: klasifikasi kelompok Islam dan adu domba, klasifikasi yang dimaksud adalah untuk semakin mempersempit dan mengotak-atik Islam dan umatnya sehingga dengan mudah di adu domba. Seperti moderat-radikal, Tradisional-modern, kultural-struktural, fundamental-abangan dan masih banyak lagi lebel yang lain. Islam moderat akan mudah berhadapan vis a vis dengan radikal, mereka dengan mudah disulut perselisihannya. Secara tegas, Ismail Yusanto (Juru bicara HTI) berpendapat bahwa syari’at Islam adalah solusi atas berbagai ancaman disintegrasi bangsa, sebab syari’at Islam akan menggantikan sekularisme. Di mana sekularisme sudah membuat celaka negeri ini. Justru yang mengancam adalah sekularisme dan kapitalisme global. Fakta sudah nyata, ukhuwah justru akan mensolidkan negara dari ancaman separatisme yang mengancam. Bentuk separatisme, seperti RMS dan papua merdeka itu yang mengancam, bukannya Khlafah. Khilafah malah akan menyelamatkan NKRI dari kehancuran. 
Lagi-lagi ini adalah asumsi pendorong Syari’at di Indonesia. Labeling islam di Indonesia adalah penelitian (research) tersendiri dalam ranah sosial dan ilmiah. Dalam Islam, sebenanya sudah banyak kelompok-kelompok islam yang mempunyai epistemologi berbeda dalam menafsiri dan mengartikan al-Qur’an. Pasca nabi wafat, Syi’ah dan ahlusunah wal jama’ah mempunyai metodologi tersendiri. Syi’ah, mu’tazilah cukup kuat dalam akalnya, sedangkan ahlussunah cukup kuat dengan treferensi al-Qur’an. Labeling yang disangkakan akan menjadi gangguan terhadap kaum Muslim juga sama diciptakan sendiri oleh kaum Pro syari’ah. Apa yang dilakuka para peneliti merupak deskribing bagi umat islam memilih dan memilah keberagamannya. Penelitian itu juga dilakukan untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat layaknya, lebih banyak mengetahui sebuah tendensi perilaku sosial. Sama seperti yang dikatakan Emile Durkheim, kesadaran kolektif tidak akan terbangun kalau hanya dibangun oleh satu agen. 
Menganggap khilafah penyelamat NKRI juga sudah salah. Kekhawatiran yang terjadi bagi Umat Islam yang ada di Indonesia adalah NKRI merupakan pemersatu bangsa sekaligus agama. Tidak mungkin kemudian digantikan Khilafah atau syari’at islam yang didalamnya akan ada aturan pengikat antara agama yang satu dengan yang lainnya. Di dalam islam masih ada istilah kafir dzimmi dan harbi. Namun, Indonesia tidak mempunyai itu. Sikap pemerintah mengunakan model sekularisme adalah hal yang cocok buat indonesia. Ini bukan arab yang semuanya ber-agama islam.
Di Mekkah nabi Muhammad membawa islam sebagai agama minoritas disaat itu pula Nabi melakukan Hijrah Ke madina. Di madina Nabi tidak serta merta menciptakan negeri dengan bendera khilafah, melainkan membuat Undang-Undang Madinah (piagam Madinah) yang diakui membumikan sebuah toleransi di sana.  
Keempat : peran negara, melalui beberapa peraturan dan Undang-undang yang dikeluarkan yang sangat kontraproduktif dengan Islam, seperti wacana kembali ke azaz tunggal (Pancasila), UU Teroris, UU KDR, RUU Pornografi, RUU Politik, dan lain-lain. Founding father Indonesia, Soekarno memang sudah mencetuskan pancasila sebagai azas tunggal. By unity pancasila mereka bisa berkumpul dan berada dalam forum sama tanpa meresahkan dirinya sendiri. Negara mengembalikan azas Indonesia kepada Pancasila bukan berarti melanggar aturan Islam. Namun, negara kita adalah sebagai negara Islam.  
Siapa Membendung siapa ? 
Dengan semangat kebangkitan nasional dan hari lahirnya pancasila. Seraya mengingatkan kita, untuk menghidupkan kembali bahwa indonesia terbangun bukan dari Islam, melainkan satu asaz kesamaan yang berindikasikan sebuah kehidupan majmuk dan pluralis. 
Memaksakan Indonesia menjadi islam adalah nihilisme belaka. Tidak mungkin kemudian islam akan berjaya kalau hanya dibanggakan melalui satu arah normative belaka. Pasalnya, islam mempunyai ajaran yang cukup universal. Bukan yang selalu disangkakan untuk dapat menolak bentuk konsep subuah negara. Indonesia adalah contoh bagus, bagaimana keberagaman sangat dihargai bukan keseragaman yang diinginkan. Undang-Undang sudah menekankan bahwa kebebasan adalah hak setiap orang.
Abdullah Ahmad Na’im adalah tokoh Kontemporer dalam ranah pemikiran Islam, dalam pemikirannya dia mengutip banyak tentang pemikiran Taha yang salah satunya adalah menyetujui untuk mengabaikan ayat madaniyah dan mendahulukan ayat-ayat makkiyah. Karena dalam ayat-ayat makkiyah mengandung pesan Abadi dan Fundamental yang menginginkan egalitarianisme seluruh umat manusia. Jelas, sangkaan Islam tidak mengajarkan kesamaan dan pluralisme tidak bisa kita lihat dalam kondisi di Madinah yang sudah menguasai dan menciptakan kekuasaan sebagai bentuk negara Islam.
Islam tidak mengajarkan HAM, Feminisme, Pluralisme agama ini semuanya ditunjukkan dalam ayat-ayat madaniyah. At-Taubah : 29, An-Nisa’ : 34, al-Anfal : 39. Semua ayat ini merupakan landasan bagaimana kemudian islam diartikan sebagai agama yang tidak relevan dalam bentuk Hukum banyak visualisasi dan lain sebagainya. Padahal kalau melihat ayat-ayat makkiyah, Islam berada dalam kondisi yang cukup kuat untuk dapat menerima. Isue nabi Muhammad mengangkat derajar Perempuan, Mengembalikan Hak-Hak Manusia. Serta keseragaman tanpa pemaksaan untuk menganut Islam. Indonesia juga sama mempunyai hubungan internasional yang cukup kuat dengan negara lainnya, tidak lah sama pada keadaan di Madinah. Menggunakan Sistem Khilafah akan membuat blunder keagamaan. Karena Hukum islam masih banyak yang deskriminatif. 
Fungsi negara Indonesia saat ini adalah mewaspadai keberadaan Negara dibawah kuasa negara (negara Islam, meski hanya berbentuk organisasi kecil layaknya NII,). Para umat islam yang mau membedakan keberadaannya, selalu akan memaksakan idea khilafah. Publikasi dan opini parsial malah lebih banyak dilakukan oleh mereka ketimbang publikasi yang dilakukan penyokong pluralisme. Sebut saja, rekrutment masa lebih banyak dilakukan orang-orang kanan (penyokong khilafah) ketimbang para pengikut Islam ala Indonesia. 
Publikasi pada setiap jum’at dan pemberian ceramah sudah banyak dilakukan dengan rekonstruksi opini bahwa kebobrokan Indonesia karena masih bergantung pada negara orang salib (eropa amerika) dan saat Islam berdaulat. Padahal, kedaulatan negara berada dalam kedaulatan Pancasila dan Undang-Undang Negara bukan pada Islam. 
Akhirnya, dalam kasus ini, Pancasila harus tetap terjaga untuk menjadi alat integritas sosial, layaknya yang sering dikomandangkan para Tokoh agama, Frans Magnis Saat di Interview Al-Fikr, dia mengatakan bahwa cukup pancasila saja. Sedangkan Gus Dur malah mengherankan Gerakan menggantikan Asaz kesatuan dengan Agama. Begitu pula Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa Islam Yes, Syari’ah No. 
Kebangkitan Indonesia benar-benar akan menjadikan negara Indonesia sebagai negara kesatuan, anti kekerasan baik agama dan ultimatum kebebasan berpendapat dan berekspresi sesuai Undang-Undang dan Pancasila yang menyediakan keadilan bagi seluruh rakyat, tanpa mempertimbangkan dari kalangan, agama serta minoritas atau mayoritas. Lahirnya pancasila, juga menjadikan ingatan bahwa Indonesia sudah punya identias negara dan tidak perlu memberikan identitas baru bentuk Khilafah Islam atau lainnya.

)* Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura. Saat ini menjabat sebagai Koordinator Lingkar Pena Mahasiswa Surabaya. 
read more “Membendung Penegakan Syariah dan Khilafah di Indonesia”