•21.45
KETIKA HIDUP HARUS DIPERTAUTKAN
Oleh: Maltuf Ready *
Kehidupan ini begitu membosankan. Orang-orang di sekeliling aku selalu mentertawakanku, mengejekku. Katanya, aku stres, gila dan sebagainya. Aku tak tahu apa tujuan mereka menghinaku seperti itu. Sejenak, aku mulai memperhatikan seluruh pakaianku, penampilanku, biasa-biasa saja. Tidak seperti layaknya orang gila. Apa sebenarnya yang salah dalam diriku. Aku benar-benar bingung.Oleh: Maltuf Ready *
Esok harinya, aku mengalami nasib yang sama seperti kemarin. Tapi kali ini aku benar-benar jengkel dan dibuatnya marah. Marah karena mereka begitu antusias untuk menghujatku, mempermalukanku di depan umum hingga aku tak sanggup lagi mengangkat wajahku. Aku menjadi terasing di negeriku sendiri. Entahlah, hanya tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka. Aku hanya bisa berharap suatu saat aku bisa menggapai sejuta keinginan dari sisa hidupku ini.
“Kau tak akan pernah bisa menggapai kesmpurnaan itu, karena kesempurnaan hanya milik tuhan”. Ia berkata dengan acuh tak acuh. Pada bibirnya tersungging senyum tipis seolah menyimpan tawa melihat keberadaanku. Aku hanya terdiam. Aku tak kuasa berontak karena aku hanya seorang diri, sementara mereka sudah menjadi komunitas kecil yang disegani banyak orang. Katanya, komunitas itu merupakan tempat berkumpulnya orang-orang cerdas. Kuakui, mereka memang cerdas karena mereka rajin membaca buku dan berdiskusi. Tapi aku tak suka dengan keberadaannya karena mereka seringkali mendahulukan egoisitasnya daripada intelektualitasnya.
Ah, menjenuhkan sekali hari ini. Aku tak pernah bermimpi sebelumnya kalau semua ini akan terjadi seperti ini. Aku tak habis pikir, Kenapa mesti aku yang disalahkan. Kuakui, dulu, aku memang pernah menjadi bagian dari komunitas itu, tapi sekarang aku harus pergi untuk menggapai cerahnya masa depanku. Aku meninggalkan mereka hanya untuk mencari esensi kehidupan. Salahkah bila aku menentukan hidupku sendiri demi kesempurnaan hidup. Salahkah pula bila aku menempuh jalan yang berlainan tapi tujuannya sama. Memang, kita dilahirkan dari ibu yang sama, yakni ibu pertiwi. Tapi akankah kita harus sama dalam segala hal. Bukankah Muhammad dahulu pernah bilang, bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Perbedaan-lah yang bisa membuat hidup ini terasa lebih indah. Apakah kau tak merasakan itu? Gumamku.
* * *
Tiga hari kemudian, sehabis kuliah, tiba-tiba aku dipanggil seorang lelaki ke salah satu kantor UKM di kampusku. lelaki itu adalah Andri yang merupakan manajer di komunitas itu. Di sampingnya, duduk seorang lelaki berambut agak panjang. Ia adalah sekretarisnya yang selalu setia menemani Andri kemanapun ia pergi. Aku kenal meraka sejak pertama kali aku mengikuti diskusi pada pertangahan tahun 2007 lalu. “Akhir-akhir ini kau semakin aneh, apa yang sebenarnya terjadi? Katanya sambil membetulkan duduknya. Aku hanya terdiam. Aku tak bisa mendongakkan kepala karena bagaimanapun pasti aku yang salah di mata mereka. Dan bahkan mereka akan mengecapku sebagai pengkhianat karena aku telah melanggar komitmen yang telah disepakati bersama. “Kenapa kau nekad lari dari komunitas kami. Apakah kau bisa menjamin hidupmu akan lebih baik setelah kau keluar dari komunitas yang telah kita bangun bersama dengan susah payah?”. Lanjutnya.“Aku tidak pernah bimbang dengan tekad yang kupilih karena ini adalah hasil ikhtiarku. Aku pergi karena aku menginginkan kesempurnaan hidup. Aku ingin mengejar cita-citaku. Salahkah bila aku menginginkan yang terbaik buat aku, kita, bangsa dan negara. Tidakkah kau ingat pesan para leluhur kita, bahwa kita adalah penerus bangsa dan negara, dan di tangan kita tergenggam arahnya. Kita hidup di dunia ini dengan mengemban berjuta-juta tanggung jawab. Sadarkah kau akan hal itu?”. Ucapku seraya meyakinkan. Kulihat lelaki yang tidak lain adalah Andri itu hanya terdiam sembari menundukkan kepalanya. Sepertinya, ia sudah mulai paham dan menerima semua penjelasanku. Hatiku lega seketika, ternyata Andri masih tetap bijaksana seperti dulu. Seperti halnya ketika aku masih menjadi bagian dari komunitasnya. Andri memang sosok yang bijaksana. Ia tidak pernah pilih-pilih teman. Dan juga tidak pernah memihak ke siapa-siapa ketika aku tersangkut masalah dengan teman-temannya. Ia selalu menjadi penengah dalam setiap persoalan. Oleh karenanya, ia disukai banyak orang, khususnya mahasiswa yang kuliah di kampus ini.
“Kalau dipikir-pikir, perkataanmu ada benarnya juga. Kita memang belum sempurna dalam segala hal. Jadi, apa salahnya kalau kita mencoba membenahi diri untuk mencapai kesempurnaan hidup”. Ucap lelaki yang duduk di samping Andri. Lelaki itu seolah membenarkan semua penjelasanku. Kulihat ia hanya tersenyum tipis. Sesekali ia meminum kopi yang ada di depannya. Tak lama kemudian, ia mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Diambilnya satu batang lalu ditaruh di bibirnya. Dari saku celananya ia mengambil korek api dan membakar rokok itu. Setelah itu ia meletakkannya tepat di depanku.
“Memang benar sih tapi kita harus tahu satu hal, ketika kesempurnaan menjadi tuntutan utama, ketika itu pula ketidaksempurnaan akan dipertanyakan. Namun ketidaksempurnaan itulah yang harus dicintai dengan sempurna. Pernahkah kita berpikir sempurna ketika ketidaksempurnaan itu harus dipertautkan?”. Andri melanjutkan pembicaraannya. Ia mencoba menjadi penengah. Dari nada bicaranya sudah mulai kelihatan bahwa ia adalah sosok yang bijaksana dan berwibawa.
Suasana ruangan tiba-tiba sepi. Tak ada yang berani angkat bicara setelah mendengar perkataan Andri tadi. Aku tertunduk sembari mengangguk-anggukan kepala. Aku tak tahu siapa sebenarnya yang benar dan siapa yang salah. Aku sebagai manusia tentunya masih jauh dari sempurna. Aku telah meninggalkan sesuatu yang menurutku tidak sempurna karena aku hanya menginginkan yang sempurna tapi mungkinkah aku dapat meraihnya. Bukankah ketidaksempurnaan itu harus kita cintai dengan sempurna seperti yang dikatakan Andri tadi. Aku bingung. “Tuhan, dekatkan aku pada sesuatu yang mendekati kesempurnaan.” Ucapku dalam hati.
Tak terasa waktu sudah sore. Cakrawala di hiasi gugusan warna kuning keemasan. Saat itu kulihat matahari sepertinya sudah mulai beranjak ke peraduannya. Andri dan sekretarisnya masih tetap terdiam. Aku tak punya keberanian untuk intrupsi, padahal aku ingin pulang ke kost karena aku belum melaksanakan kewajibanku sebagai warga muslim yang taat. “Sudahkah kau shalat ashar?”. Tiba-tiba suara Andri memecah keheningan. “Kalau memang belum shalat, shalat disini saja karena sebentar lagi adzan maghrib”. Lanjutnya. Aku hanya menganggukkan kepala ketika ditanya oleh Andri. Tanpa berpikir panjang aku langsung menuju kamar mandi yang terletak di pokok kiri ruangan. Aku berwudlu’ lalu shalat.
Setelah selesai shalat, Andri memanggilku. kemudian dengan segera aku kembali ke tempat yang tadi. Katanya, masih ada yang ingin dibicarakan. Aku langsung duduk di depannya. “Apa yang kau rencanakan selanjutnya, apakah kau tetap pada pendirianmu untuk meninggalkan komunitas ini?”. Tanya Andri. Aku hanya tertegun. Mulutku tiba-tiba kelu katika dihadapkan pada dua pilihan yang menurutku sama-sama baik. Aku bingung harus pilih yang mana. Dalam hati aku cendrung lebih memilih keluar dari komunitasnya tapi konsekwensinya mereka akan memusuhiku, menghinaku seperti kemarin-kemarin.
“Dapatkah kau mengabulkan permintaanku?. Aku tak akan keluar dari komunitas ini asalkan aku boleh menentukan jalan hidupku sendiri. Jujur, aku merasa terkekang sejak aku bergabung dalam komunitas ini. Seolah-olah aku didoktrin untuk mengikuti ideologi mereka. Aku tidak suka ada pemerkosaan karakter seperti itu”. Andri tertegun mendengar permintaanku. Raut wajahnya tampak lesu, seolah ia keberatan dengan segala keputusanku. Begitu pula dengan lelaki yang duduk di sampingnya. Ia tak berkomentar apa-apa. Dalam hatinya mungkin menggerutu. Ia hanya memandangi Andri dengan tatapan bingung. Hening. Tak lama kemudian Andri mulai angkat bicara.
“Keberadaan komunitas ini masih jauh dari yang kita harapkan. Ia ibarat sebuah bangunan. Tak akan berdiri kokoh kalau kita mengecornya dengan amarah. Kehidupan ini memang absurd. Tidak bisa ditebak dan diukur panjangnya. Begitu pula dengan manusia. Ia juga absurd karena tidak bisa ditebak nasibnya. Haruskah kita mempertautkan itu untuk kepentingan diri sendiri?”. Tegasnya. Aku lega seketika dengan keputusannya yang terakhir ini. Ternyata mereka masih bersedia menerimaku kembali. Terima kasih, Tuhan!. Mungkin ini anugerah terbaik yang kau kirimkan untukku.
*Penulis adalah mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saat ini aktif pada Forum Pecinta Satra dan Seni (FORSENI) di Surabaya.