SEPENGGAL TAKDIR
Awan mendung bertiup dan mulai bergemuruh di langit yang sebelumnya biru. Kilat dengan serta merta menyambar turun ke Bumi, dan baru beberapa detik kemudian suara
Di padang rumput itu, seorang pria berdiri kokoh bagai patung di tengah kota. Di atas sebuah bukit kecil, di mana sepasang kakinya sejak tadi menapak—mengakar. Ia menatap ke langit, ke sebuah gumpalan awan yang makin menghitam tiap detiknya. Fisiknya yang tinggi dan ramping terlihat samar saat sekelebat cahaya petir menyambar dengan gila, merambat pada sela-sela udara yang berubah dingin. Rambutnya pendek dengan potongan rapih di tiap ujungnya dan bergerak lembut saat terbelai angin.
“Kau tidak adil padaku?” teriaknya entah kepada siapa.
Mungkin ditujukan kepada salah satu gumpalan awan di atas sana atau petir, atau bahkan untuk Sang Khalik pemilik segalanya—di mana wujud-Nya tak akan pernah nampak oleh sepasang indera yang dinamakan ‘mata’ itu. Tak akan mungkin. Tidak mungkin ada organ bahkan alat buatan makhluk manapun yang bisa melakukannya. Kecerdasan manusia itu terbatas. Semua telah diatur dalam sekat-sekat sel yang ada di otak.
“Mengapa Kau ciptakan takdirku seperti ini? Nasibku merana menjadi hamba terhina. Apa Kau tidak mendengar sebutan mereka padaku? Mereka bilang kalau aku ini tidak berguna, lemah, bodoh, goblok, tolol, monyet atau apalah istilah mereka.”
Kelopak matanya basah lalu mengeluarkan pilu yang menurut bangsa keturunan primata seperti manusia, dinamakan ‘air mata’.
“Di mata mereka, aku ini sangat rendah. Lebih rendah dari sampah. Cacat. Tak pantas berada di antara mereka,” jelasnya terisak.
“Sesungguhnya, mereka itu salah. Kau bisa lihat sendiri. Tak ada kecacatan dari fisik yang Kau ciptakan ini. Semua organku lengkap, otakku juga masih betah bersemayam di kepala, dan hati serta jantungku juga tetap pada tempatnya. Sama seperti mereka. Lalu mengapa mereka terus saja memanggilku seperti itu? Merendahkanku di muka umum? Apa yang salah pada diriku?”
Dengan punggung tangan, ia mengusap matanya.
“Mengapa Kau tetap diam? Apa Kau bisu? Tuli? Katanya, Kau selalu mendengarkan keluh-kesah semua hamba-Mu. Mana buktinya? Mana? Omong kosong. Semua itu ternyata bohong.”
Ia diam sesaat, mencoba mengatur tingkat emosi yang semakin meluap-luap dalam dirinya.
“Jika Kau memang adalah Sang Penguasa—raja di atas segala raja, buktikan padaku!” teriaknya makin kencang.
“Tunjukkan kekuatanmu! Mana kekuasaanmu!”
Ia menghela napas sekali, seakan ingin menyampaikan sebuah ultimatum yang harus terlaksana.
“Aku ingin punya sayap. Sayap indah yang bisa membuatku terbang dan tak lagi mendengarkan sebutan merendahkan mereka kepadaku. Aku ingin menjauh dari koloni mereka. Menjauh sejauh-jauhnya. Aku ingin terbang. Terbang seperti burung yang bebas di angkasa. Setinggi-tingginya hingga mencapai puncak awan.”
***
Pagi itu matahari belum menampakkan semburat sinarnya dari kejauhan ufuk timur. Tampaknya sang surya masih terlelap di peraduan angkasanya. Kabut semi transparan juga masih menguasai sebagian badan jalan di salah satu daerah paling padat penduduk di kota Jakarta. Tetes embun belum memuai menjadi uap air dan menyatu dengan udara, menyebabkan udara makin lembab. Sayup angin seakan menguak sebab keheningan di beberapa lorong sempit di perumahan tersebut. Makhluk-makhluk belum menampakkan diri. Masih bersemayam di balik selimut kehangatan.
Jam weker berbunyi nyaring—bergema di salah satu rumah bagai bunyi lonceng emas di puncak kuil Olympus, seakan meramalkan kejadian mengerikan yang nanti akan terjadi.
Ketika selimut disibakkan, tubuh setengah telanjang ada di baliknya. Deretan tulang rusuk tercetak di sana, bagai urat yang menonjol dari balik kulit. Laki-laki itu membuka mata. Sedikit demi sedikit, suasana sekitar mulai tertangkap oleh inderanya, menampilkan susunan langit-langit kamar berwarna putih dengan lampu ber-watt kecil yang masih menyala.
“Sudah pagi rupanya,” gumamnya sembari tersenyum saat kesadarannya tengah memulihkan diri. Kantuk yang masih terasa, ia paksa pergi dan menghilang. Sekarang waktunya melanjutkan hidup.
Sebelah tangannya mengambil weker yang ada di meja. Tombol weker yang ada pada bagian atas ia tekan, menyebabkan suara deringan benda itu berhenti seketika. Ia melihat jarum jam menunjukkan pukul 06.30 pagi. Weker diletakkan lagi ke tempatnya semula, sembari ia mencoba membangunkan tubuhnya yang masih malas bergerak. Digaruknya beberapa bagian tubuh hingga puas lalu dengan jari-jari tangan, rambutnya yang berantakan disisir seadanya. Sebagian ke samping kiri dan sebagian lagi ke samping kanan.
Sejenak, laki-laki itu menggeliat keenakan lalu menguap bagai sang penguasa rimba. Setiap bukaan mulutnya bagai menghisap ion-ion kehidupan yang ada di tempat itu hingga tak bersisa. Rakus sekali. Biasalah, manusia memang cenderung seperti itu. Tak puas atas apa yang telah dimilikinya. Ingin terus menambah, menambah, dan menambah.
Sinar matahari menerobos masuk melalui sela-sela tirai penutup jendela. Cahayanya menghangatkan kulit dan mencairkan keheningan. Seolah-olah kehidupan mulai tersusun kembali setelah tidur sekian lama, setelah berhibernasi dalam kegelapan. Menciptakan peradaban baru ke arah yang lebih baik. Semoga saja...
“Mimpi tadi benar-benar aneh. Aku seolah-olah berbicara kepada Tuhan. Bagaimana mungkin?” Lelaki itu nyengir sendiri.
“Tidak masuk akal.”
Namun jauh di lubuk hatinya, ia bener-benar menginginkan hal itu terjadi. Mimpi tadi seolah-olah mencerminkan isi hatinya. Menggambarkan kalut yang selama ini menyiksa batin dan jiwanya. Ia tak bisa berbohong lagi. Walau hanya di dalam mimpi, ia telah puas. Yang jelas, ia telah menumpahkan suara hatinya. Lainnya, tak penting. Hari ini harus dijalani dengan perasaan bahagia. Tak ada beban sedikit pun yang lagi menghinggap. Telah hilang dan menguap bersama embun.
Ketika ia berdiri, sesuatu seperti begoyang dari punggungnya—bergerak-gerak. Ia merasakan keanehan pada daerah itu. Kepalanya coba ditengokkan ke belakang. Secara reflek tangannya ikut membantu.
“A... apa ini?” teriaknya kaget. “Mengapa benda ini bisa melekat di tubuhku?”
Sepasang sayap kecil bergerak-gerak mengikuti gerakan punggungnya. Mengibas-ngibas bagai sayap burung yang terbang bebas di angkasa. Sepasang sayap itu berwarna hitam namun tak berbulu. Lembut dan menyerupai daging yang terbalut kulit dengan beberapa tonjolan tulang.
“I... ini sayap kelelawar,” gumamnya ketakutan. “A... apa yang terjadi? Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Mengapa... mengapa sepasang sayap menakutkan ini tumbuh di punggungku?”
Dengan paksa, ia mencoba melepaskan sayap itu. Sekuat tenaga. Namun setiap upaya untuk menarik sayap itu agar terlepas dari tubuhnya, membuat kulitnya sakit. Kulit punggungnya seperti tertarik dan hampir sobek. Hal itu sia-sia saja. Sayap itu telah bersatu dengan tubuhnya dan menjadi bagian atas dirinya.
Ia tak terima. Tangis dan teriakan tak ada gunanya. Semua itu tak bisa mengembalikan tubuhnya ke kondisi semula—normal kembali. Ia merenung beberapa menit ke depan ketika matahari kian meninggi. Sedikit demi sedikit ia bisa menerimanya walau tak sepenuhnya. Ia masih tak tahu harus berbuat apa.
Mungkin ini pengaruh dari mimpi itu. Aku benar-benar berbicara kepada Tuhan, gumamnya dalam hati antara percaya atau tidak. Dengan kesadaran yang telah kembali, ia berkata setengah berbisik.
“Hidup harus dilanjutkan. Tak ada gunanya penyesalan. Tapi...”
Dua puluh menit kemudian ia keluar dari kamar mandi. Mencari alat untuk menutupi sepasang sayap itu agar tidak kelihatan. Diambilnya gulungan perban kemudian dililitkannya benda itu ke punggungnya. Terus, terus dan terus, hingga tonjolan sayap itu tak tampak. Setelah selesai, lanjut ia mengenakan baju dalam lalu kemeja yang dikombinasikan dengan dasi berwarna hitam bergaris. Semua kostum formal itu diberi sentuhan terakhir dengan balutan jas. Ia berdiri di depan cermin, memperhatikan sejenak penampilannya lalu berputar beberapa kali. Walau tubuhnya terlihat sedikit bungkuk karena tulang punggungnya menonjol keluar bagai pasak, tapi tanda bahwa itu adalah sayap tak terlihat.
Aku terlihat seperti manusia normal kembali dan topeng ini akan membuatku menyerupai mereka. Bibirnya dipaksa mengurai senyuman. Ditepuknya bagian jas yang terlihat berdebu, simpul dasi dirapihkan dan disembunyikan di bawah kerah kemeja lalu setelah semua sesuai dengan keinginannya beberapa menit kemudian, pria itu mengambil tas kerja lalu keluar dengan langkah terburu-buru.
v
0 komentar: