(Sebuah upaya untuk membentuk karakter anak di sekolah)
Pendidikan merupakan proses yang paling bertanggung jawab dalam melahirkan warga negara yang memiliki karakter kuat sebagai modal dalam membangun peradaban tinggi dan unggul. Karakter bangsa yang kuat merupakan produk dari pendidikan yang bagus dan mengembangkan karakter. Ketika mayoritas karakter masyarakat kuat, positif, dan tangguh maka peradaban yang tinggi dapat dibangun dengan baik dan sukses. Sebaliknya, jika mayoritas karakter masyarakat negatif, dan lemah maka mengakibatkan peradaban yang dibangun menjadi lemah sebab peradaban tersebut dibangun dalam fondasi yang amat lemah.
Karakter bangsa adalah modal dasar membangun peradaban tingkat tinggi, masyarakat yang memiliki sifat jujur, mandiri, bekerja-sama, patuh pada peraturan, bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos kerja tinggi akan menghasilkan sistem kehidupan sosial yang teratur dan baik. Ketidakteraturan sosial menghasilkan berbagai bentuk tindak kriminal seperti kekerasan dimana-dimana, terorisme, korupsi semakin merajalela, dan lain-lain.
Oleh karena itu, pendidikan harus terus didorong untuk mengembangkan karakter bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat sehingga pada gilirannya bangsa Indonesia akan mampu membangun peradaban yang lebih maju dan modem.
Pembentukkan karakter (character building) mempunyai beberapa fungsi strategis untuk menumbuhkan kesadaran diri. Kecakapan kesadaran diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, sebagai bagian dari lingkungan, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, sekaligus menjadikannya sebagai modal untuk meningkatkan diri sebagai individu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun lingkungannya. Dengan kesadaran diri sebagai hamba Tuhan, seseorang akan terdorong untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, serta mengamalkan ajaran agama yang diyakininya. Pendidikan agama bukan dimaknai sebagai pengetahuan semata, tetapi sebagai tuntunan bertindak berperilaku, baik dalam hubungan antara dirinya dengan Tuhan, maupun hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya. Kesadaran diri merupakan proses internalisasi dari informasi yang diterima yang pada saatnya menjadi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan diwujudkan menjadi perilaku keseharian. Oleh karena itu, walaupun kesadaran diri lebih merupakan sikap, namun diperlukan kecakapan untuk menginternalisasi informasi menjadi nilai-nilai dan kemudian mewujudkan menjadi perilaku keseharian.
Kecakapan kesadaran diri tersebut dapat dijabarkan menjadi: pertama, kesadaran diri sebagai hamba Tuhan diharapkan dapat mendorong yang bersangkutan untuk beribadah sesuai dengan tuntutan agama yang dianut, berlaku jujur, bekerja keras, disiplin dan amanah terhadap kepercayaan yang dipegangnya. Bukankah prinsip itu termasuk bagian dari akhlak yang diajarkan oleh semua agama?
Kedua, kesadaran diri bahwa manusia sebagai makhluk sosial akan mendorong yang bersangkutan untuk berlaku toleran kepada sesama, suka menolong dan menghindari tindakan yang menyakiti orang lain. Bukankah Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa untuk saling menghormati dan saling membantu? Bukankah heterogenitas itu harmoni kehidupan yang seharusnya disinergikan?
Ketiga, kesadaran diri sebagai makhluk lingkungan merupakan kesadaran bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai kholifah di muka bumi dengan amanah memelihara lingkungan. Dengan kesadaran itu, pemeliharaan lingkungan bukan sebagai beban, tetapi sebagai kewajiban ibadah kepada Tuhan, sehingga setiap orang akan terdorong untuk melaksanakan.
Keempat, kesadaran diri akan potensi yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebenarnya merupakan bentuk syukur kepada Tuhan. Dengan kesadaran itu, siswa akan terdorong untuk menggali, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan potensi yang dikaruniakan oleh Tuhan, baik berupa fisik maupun psikologis. Oleh karena itu, sejak dini siswa perlu diajak mengenal apa kelebihan dan kekurangan yang dimiliki (sebagai hamba Tuhan) dan kemudian mengoptimalkan kelebihan yang dimiliki dan memperbaiki kekurangannya. Jika siswa menyadari memiliki potensi olahraga, diharapkan akan terdorong untuk mengembangkan potensi tersebut menjadi olahragawan yang berprestasi. Demikian pula untuk potensi jenis lainnya. Walikelas, guru bimbingan konseling, guru bimbingan karier, bahkan semua guru perlu dan dapat berperan dalam mendorong siswa mengenal potensi yang dimiliki dan mengoptimalkan menjadi prestasi belajar.
Kelima, kesadaran tentang pemeliharaan potensi diri (jasmani dan rohani) diharapkan mendorong untuk memelihara jasmani dan rohaninya, karena keduanya merupakan karunia Tuhan yang harus disyukuri. Oleh karena itu, menjaga kebersihan, kesehatan, baik jasmani maupun rohani, merupakan bentuk syukur kepada Tuhan yang dilakukan. Berbagai mata pelajaran dapat menjadi wahana pengembangan kesadaran diri seperti itu, misalnya biologi dan olahraga dapat menjadi wahana yang sangat bagus untuk kesadaran memelihara jasmani, sedangkan agama, kewarganegaraan, sastra dapat menjadi wabana pemeliharaan rohani. Sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, potensi yang dikaruniakan kepada kita harus dikembangkan, sehingga setiap orang harus mengembangkan potensiyang dikaruniakanNya. Pengembangan potensi dilakukan dengan mengasah atau melatih potensi itu. Dan itu berarti setiap orang harus terus-menerus belajar.
Jika kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan, sebagai makhluk sosial dan makhluk lingkungan, serta kesadaran akan potensi diri dapat dikembangkan akan mampu menumbuhkan kepercayaan diri pada anak didik, karena mengetahui potensi yang dimiliki, sekaligus toleransi kepada sesama teman yang mungkin saja memiliki potensi yang berbeda.
Tentunya, pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep dan metodologi dengan pendidikan moral, seperti kewarganegaraan, budi pekerti, atau bahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the goog, and acting the good yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Sedangkan pendidikan moral, misalnya kewarganegaraan dan pelajaran agama hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan) tanpa ada apresiasi (emosi) dan praktik. Sehingga jangan heran kalau banyak manusia Indonesia yang hafal isi Pancasila atau ayat-ayat suci, tetapi tidak tahu bagaimana membuang sampah yang benar, berlaku jujur, beretos kerja tinggi, dan menjalin hubungan harmonis dengan sesama.
Dalam hubungan ini maka pendidikan harus mengandung tiga unsur: (a) belajar untuk tahu (learn to know). (b) belajar untuk berbuat (learn to do). (c). belajar untuk bersama (learn to live together). Unsur pertama dan kedua lebih diarahkan untuk membentuk having, agar sumber daya manusia mempunyai kualitas dalam pengetahuan dan keterampilan atau skill. Unsur ketiga lebih diarahkan pada proses being menuju pembentukan karakter bangsa. Kini, unsur itu menjadi amat penting. Pembangkitan rasa nasionalisme, yang bukan ke arah nasionalisme sempit, penanaman etika berkehidupan bersama, termasuk berbangsa dan bernegara; pemahaman hak asasi manusia secara benar, menghargai perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak, pengembangan sensitivitas sosial dan lingkungan dan sebagainya merupakan beberapa hal dari unsur pendidikan melalui belajar untuk hidup bersama. Pendidikan dari unsur ketiga ini sudah semestinya dimulai sejak Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi. Wallahu A’lam Bisshowab.
Sebelum kau pergi
Ku ingin kau tersenyum
Di depan mataku yang rapuh
Agar nantinya kau tak sedih
Ketika menapaki jalan terjal dan berliku
Sebelum kau pergi
Ku ingin menulis selembar kisah
Pada lembayung sukma jauh
Agar ia menjadi saksi bahwa babad hari ini mengalun perih
diantara kebisuan yang lestari,
bersimpuh manis dalam dekapan hangat
jubah nenek moyang yang dikebiri
Sebelum kau pergi
Ku ingin mengenangmu
dan terus mengenagmu
Hingga malaikat itu hinggap di pangkuanku
dengan sebait sabda yang tak bernada
MATA AIR AIRMATA
Pada mata airmu yang hening
Pada airmatamu yang bening
Ijinkan sejenak mataku memandang
Tentang kepiluanmu
Tentang asamu
tanpa berkedip
Hingga menembus ke dalam celah-celah sungai Nil-mu
yang mulai mengering
SEBUAH PENGKHIANATAN
Kau tersenyum seperti iblis
Yang berhasil membius manusia
dengan segelas anggur
Menghapus manis sentuh bibir yang pernah kau kecup
mengurai cinta yang erat ku balut
hingga lelah letih meredup
Kau goreskan kepedihan di setiap harapan
Kau redupkan angan di setiap impian
Hingga aku terhuyung arus penderitaan
Ku akui….
Kau memang tawaddhu’, tertunduk
Tapi jidadmu bertanduk
Otakmu sangat cerdik, tapi hatimu licik
Jutaan manusia telah kau cekik dengan jemarimu yang lentik
DI INDONESIA
Oleh: Malthuf Ready )*
Meskipun perbincangangan khilafah bukan hal yang baru, tetapi efek dan gejala yang ditimbulkannya tetap menjadi sesuatu yang hangat untuk diperbincangkan. Khilafah akhir-akhir ini menjadi tema pembicaraan aktual yang ramai di bahas dalam forum dan kesempatan, pembicaraan tersebut berusaha mendiskripsikan konsep khilafah dari berbagai sudut pandangan, tergantung dari motif yang mewarnai kepentingan mereka.
Memaksakan Indonesia menjadi islam adalah nihilisme belaka. Tidak mungkin kemudian islam akan berjaya kalau hanya dibanggakan melalui satu arah normative belaka. Pasalnya, islam mempunyai ajaran yang cukup universal. Bukan yang selalu disangkakan untuk dapat menolak bentuk konsep subuah negara. Indonesia adalah contoh bagus, bagaimana keberagaman sangat dihargai bukan keseragaman yang diinginkan. Undang-Undang sudah menekankan bahwa kebebasan adalah hak setiap orang.
Publikasi pada setiap jum’at dan pemberian ceramah sudah banyak dilakukan dengan rekonstruksi opini bahwa kebobrokan Indonesia karena masih bergantung pada negara orang salib (eropa amerika) dan saat Islam berdaulat. Padahal, kedaulatan negara berada dalam kedaulatan Pancasila dan Undang-Undang Negara bukan pada Islam.
)* Penulis adalah alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep Madura. Saat ini menjabat sebagai Koordinator Lingkar Pena Mahasiswa Surabaya.
MILA, begitulah orang-orang di sekelilingnya memanggil namanya. Sebuah nama yang cukup sederahana sama seperti kepribadiaan yang dimilikinya. Sikap yang lemah lembut, ramah, suka menolong orang lain merupakan ciri khasnya. Ia selalu tampil apa adanya. Tidak seperti gadis-gadis lain pada umumnya. Namun orang-orang di sekitarnya begitu menyayanginya, lebih-lebih keluarganya. Mereka memperlakukan Mila sama seperti anak perempuannya sendiri.
Sejak ayahnya pergi, ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Ia depresi. Oleh karenanya, Mila harus banting tulang untuk menghidupi keluarganya karena ia adalah anak tertua dari tiga bersaudara. Kedua saudaranya masih kecil. Tidak tahu apa-apa. Meskipun usianya masih terlalu muda namun Mila harus mengemban beban hidup yang cukup berat. Ia harus membiyayai sekolah adik-adiknya, juga harus membiyayai pengobatan ibunya.
Sudah menjadi kebiasaannya, setiap pagi, Mila pergi ke sawah yang ia miliki. Ia bekerja layaknya petani pada umumnya. Bekerja keras di bawah terik matahari yang menyengat. Ia tidak kenal lelah meskipun sesekali ia berhenti untuk mengelap keringatnya yang berleleran di dahi dan lehernya dengan ujung baju lengan panjang yang kini tampak agak basah oleh keringatnya. Caping petani dengan setia bertengger di kepalanya. Senyum terukir sekilas pada ujung bibirnya saat matanya memandang tak sengaja pada sebuah pohon pisang yang berdiri tegak di ujung lahannya.
Tak terasa siang telah tiba. Mila segera berkemas untuk pulang meskipun pekerjaannya belum terselesaikan. Tak terlihat sedikitpun rasa lelah meskipun wajahnya tampak kumuh dan berantakan. Ia tetap bersemangat dan tegar untuk melanjutkan pekerjaan yang ada di rumahnya. Bahkan ia melakukan pekerjaannya dengan senang hati. Begitulah hari-hari yang dilaluinya penuh dengan kesibukan hingga tak ada waktu luang untuk beristirahat di siang hari. Tuhan, berikan aku kemudahan untuk melakukan apapun yang aku inginkan. Katanya.
“Kak Mila, kau dimana?.” Ucap adiknya seraya menangis. Isak tangisnya mengalun perih diantara rumah kecil yang tak begitu lestari. Bersimpuh pahit dalam dekapan hangat seorang ibu yang tengah mengalami depresi. Ia tak dapat berbuat apa-apa selain menangis. Tiba-tiba seorang perempuan setengah baya menghampirinya. Perempuan setengah baya itu adalah bu Nur, seorang janda yang sudah bertahun-tahun ditinggal suaminya. Ia memiliki nasib yang sama seperti ibunya Mila. Namun ia tidak memiliki keturunan. Oleh karenanya, perempuan itu begitu menyayangi Mila dan adik-adiknya. Bahkan perempuan itu menganggap mereka sebagai anaknya sendiri. “Sudahlah Nak! Sebentar lagi kakakmu pasti akan pulang”. Katanya sambil mengelus-ngelus rambutnya.
Esok harinya, terdengar kabar dari seorang pengembala kambing. Katanya, ada seorang perempuan terbaring di sebuah hutan kecil yang tak jauh dari perkampungan itu. Ia terkulai lemas tanpa busana sehelaipun. Warga yang ada di perkampungan itu panik mendengarnya, lebih-lebih kerabat Mila. Dengan segera, mereka berbondong-bondong menuju ke hutan itu. Setelah sampai di hutan, mereka melihatnya dengan mata terbelalak setengah tidak percaya. Ternyata perempuan di hutan itu adalah Mila. Mila yang sejak kemarin hilang. Di sekitarnya terdapat bekas-bekas pemerkosaan. Entah siapa yang memperkosanya. Tak ada yang tahu. Lalu, beberapa orang diantara mereka segera mengangkat tubuh Mila dan membawanya pulang ke rumahnya. Di rumahnya, Mila disambut dengan tangis yang menderu-deru. Kedua adiknya yang masih kecil histeris. Sementara ibunya terlihat lemas, tak berdaya. Kelopak matanya basah lalu mengeluarkan pilu yang menurut bangsa keturunan primata seperti manusia, dinamakan airmata.
Tiba-tiba sepi menyelimuti rumah itu. Langit tidak tampak cerah. Angin berdesir perlahan dengan sayup-sayup tidak menggairahkan. Semua orang yang ada di rumah itu terdiam. Membisu. Namun, mereka tetap setia menunggu Mila terbangun dari mimpi buruknya. Di dekatnya, bu Nur menjaganya sambil membelai-belai rambutnya yang lurus terurai.
“Mila, Kenapa harus namamu yang tertulis dalam lipatan takdir Tuhan. Kenapa pula di usia muda ini kau harus bersahabat dengan musuh semua perempuan. Perempuan manapun tidak akan pernah menginginkan terlibat dalam cerita kesengsaraan ini. Bila kau menuturkan bahwa babad hari ini mengalun perih diantara kehidupan yang telah dikebiri. Semoga kau tetap tegar dan sabar dalam mengarungi kehidupan ini.” Bu Nur berkata dengan nada lirih. Wajahnya tampak memerah. Seolah ia ingin melampiaskan sesuatu pada orang yang telah membuat Mila terbaring tak sadarkan diri.
Menjelang sore, Mila kembali sadar. Ia siuman. Semua yang ada di tempat itu sedikit lega meskipun hatinya tersayat-sayat. Dengan segera mereka langsung meghampiri Mila untuk menanyakan keadaannya. Tapi, Mila malah berteriak dan menutup wajahnya dengan jari-jarinya. Jangan…jangan…jangan!!. Ucapnya. Tampaknya ia mengalami trauma dengan kejadian yang telah menimpanya kemarin. lalu dengan segera bu Nur menghampirinya. “Mila, ini bu Nur,!.” Katanya seraya menenangkan.
Rasa kecewa selalu datang ketika hidup ini berbenturan dengan realitas. Sama halnya dengan kehidupan yang tengah di jalani Mila saat ini. Hari-harinya berubah pucat pasi. Tak ada gairah dalam hidupnya. Ia selalu murung. Harapannya untuk menjadi seorang perempuan telah memudar. Semuanya telah hancur. Ibarat kerajaan yang tengah mengalami kekalahan akibat pertahanan terakhirnya telah hancur lebur.
Tiba-tiba seperti ada yang menggiring Mila untuk melangkah. Ia tidak tahu pasti apakah ia berjalan di atas tanah, atau di udara. Yang ia rasakan tubuhnya begitu ringan, seolah melayang-layang. Lalu, ia tiba di suatu tempat, entah dimana. Ia tidak mengenalnya. Ia tercengang di tempat itu. Ia berdiri bak patung di tengah kota. Tatapannya tertuju pada sebuah bukit kecil yang tak jauh dari pandangannya.
“Kau tak adil padaku.” Teriaknya dengan lantang. Entah kepada siapa ucapan itu ditujukan. Tak ada yang tahu selain Tuhannya. Pada bibirnya tersungging kekecewaan yang begitu mendalam. “Kenapa Kau ciptakan takdirku seperti ini. Nasibku merana menjadi hamba terhina. Apa Kau tidak melihat perbuatan mereka padaku.” Lanjutnya. Ia diam sesaat, mengatur tingkat emosi yang semakin meluap-luap dalam dirinya. Sesekali ia mengusap matanya dengan punggung tangannya.
“Kenapa kau tetap diam. Apa kau bisu, tuli. Katanya, kau selalu mendengarkan keluh kesah semua hamba-Mu. Mana buktinya. Jika Kau memang adalah Sang Penguasa raja di atas segala raja, buktikan padaku!”. Teriaknya makin kencang. Kini, Mila berubah drastis. Dulunya dikenal sopan, ramah dan suka menolong orang lain tapi saat ini ia begitu hingar-bingar. Tidak seperti Mila yang tinggal di perkampungan itu. Tampaknya ia tidak terima dengan kenyataan buruknya. Ia tidak sanggup lagi untuk mengangkat wajahnya di depan orang lain. Tangis dan teriakannya tak ada gunanya karena tak akan bisa mengembalikan tubuhnya ke kondisi semula. Ia merenung beberapa menit ke depan ketika matahari kian meninggi. Dengan tenang ia kemudian menatap awan yang berkelebat di atasnya. Lalu, dengan cepat ia menjatuhkan tubuhnya ke sebuah jurang yang terletak di samping kirinya. Ia merengang. Tubuhnya tergeletak bermandikan darah. Darah itu kemudian mengalir ke seluruh penjuru.
Surabaya, 220509
Oleh: Maltuf Ready *
Esok harinya, aku mengalami nasib yang sama seperti kemarin. Tapi kali ini aku benar-benar jengkel dan dibuatnya marah. Marah karena mereka begitu antusias untuk menghujatku, mempermalukanku di depan umum hingga aku tak sanggup lagi mengangkat wajahku. Aku menjadi terasing di negeriku sendiri. Entahlah, hanya tuhan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka. Aku hanya bisa berharap suatu saat aku bisa menggapai sejuta keinginan dari sisa hidupku ini.
“Kau tak akan pernah bisa menggapai kesmpurnaan itu, karena kesempurnaan hanya milik tuhan”. Ia berkata dengan acuh tak acuh. Pada bibirnya tersungging senyum tipis seolah menyimpan tawa melihat keberadaanku. Aku hanya terdiam. Aku tak kuasa berontak karena aku hanya seorang diri, sementara mereka sudah menjadi komunitas kecil yang disegani banyak orang. Katanya, komunitas itu merupakan tempat berkumpulnya orang-orang cerdas. Kuakui, mereka memang cerdas karena mereka rajin membaca buku dan berdiskusi. Tapi aku tak suka dengan keberadaannya karena mereka seringkali mendahulukan egoisitasnya daripada intelektualitasnya.
Ah, menjenuhkan sekali hari ini. Aku tak pernah bermimpi sebelumnya kalau semua ini akan terjadi seperti ini. Aku tak habis pikir, Kenapa mesti aku yang disalahkan. Kuakui, dulu, aku memang pernah menjadi bagian dari komunitas itu, tapi sekarang aku harus pergi untuk menggapai cerahnya masa depanku. Aku meninggalkan mereka hanya untuk mencari esensi kehidupan. Salahkah bila aku menentukan hidupku sendiri demi kesempurnaan hidup. Salahkah pula bila aku menempuh jalan yang berlainan tapi tujuannya sama. Memang, kita dilahirkan dari ibu yang sama, yakni ibu pertiwi. Tapi akankah kita harus sama dalam segala hal. Bukankah Muhammad dahulu pernah bilang, bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Perbedaan-lah yang bisa membuat hidup ini terasa lebih indah. Apakah kau tak merasakan itu? Gumamku.
“Aku tidak pernah bimbang dengan tekad yang kupilih karena ini adalah hasil ikhtiarku. Aku pergi karena aku menginginkan kesempurnaan hidup. Aku ingin mengejar cita-citaku. Salahkah bila aku menginginkan yang terbaik buat aku, kita, bangsa dan negara. Tidakkah kau ingat pesan para leluhur kita, bahwa kita adalah penerus bangsa dan negara, dan di tangan kita tergenggam arahnya. Kita hidup di dunia ini dengan mengemban berjuta-juta tanggung jawab. Sadarkah kau akan hal itu?”. Ucapku seraya meyakinkan. Kulihat lelaki yang tidak lain adalah Andri itu hanya terdiam sembari menundukkan kepalanya. Sepertinya, ia sudah mulai paham dan menerima semua penjelasanku. Hatiku lega seketika, ternyata Andri masih tetap bijaksana seperti dulu. Seperti halnya ketika aku masih menjadi bagian dari komunitasnya. Andri memang sosok yang bijaksana. Ia tidak pernah pilih-pilih teman. Dan juga tidak pernah memihak ke siapa-siapa ketika aku tersangkut masalah dengan teman-temannya. Ia selalu menjadi penengah dalam setiap persoalan. Oleh karenanya, ia disukai banyak orang, khususnya mahasiswa yang kuliah di kampus ini.
“Kalau dipikir-pikir, perkataanmu ada benarnya juga. Kita memang belum sempurna dalam segala hal. Jadi, apa salahnya kalau kita mencoba membenahi diri untuk mencapai kesempurnaan hidup”. Ucap lelaki yang duduk di samping Andri. Lelaki itu seolah membenarkan semua penjelasanku. Kulihat ia hanya tersenyum tipis. Sesekali ia meminum kopi yang ada di depannya. Tak lama kemudian, ia mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya. Diambilnya satu batang lalu ditaruh di bibirnya. Dari saku celananya ia mengambil korek api dan membakar rokok itu. Setelah itu ia meletakkannya tepat di depanku.
“Memang benar sih tapi kita harus tahu satu hal, ketika kesempurnaan menjadi tuntutan utama, ketika itu pula ketidaksempurnaan akan dipertanyakan. Namun ketidaksempurnaan itulah yang harus dicintai dengan sempurna. Pernahkah kita berpikir sempurna ketika ketidaksempurnaan itu harus dipertautkan?”. Andri melanjutkan pembicaraannya. Ia mencoba menjadi penengah. Dari nada bicaranya sudah mulai kelihatan bahwa ia adalah sosok yang bijaksana dan berwibawa.
Suasana ruangan tiba-tiba sepi. Tak ada yang berani angkat bicara setelah mendengar perkataan Andri tadi. Aku tertunduk sembari mengangguk-anggukan kepala. Aku tak tahu siapa sebenarnya yang benar dan siapa yang salah. Aku sebagai manusia tentunya masih jauh dari sempurna. Aku telah meninggalkan sesuatu yang menurutku tidak sempurna karena aku hanya menginginkan yang sempurna tapi mungkinkah aku dapat meraihnya. Bukankah ketidaksempurnaan itu harus kita cintai dengan sempurna seperti yang dikatakan Andri tadi. Aku bingung. “Tuhan, dekatkan aku pada sesuatu yang mendekati kesempurnaan.” Ucapku dalam hati.
Tak terasa waktu sudah sore. Cakrawala di hiasi gugusan warna kuning keemasan. Saat itu kulihat matahari sepertinya sudah mulai beranjak ke peraduannya. Andri dan sekretarisnya masih tetap terdiam. Aku tak punya keberanian untuk intrupsi, padahal aku ingin pulang ke kost karena aku belum melaksanakan kewajibanku sebagai warga muslim yang taat. “Sudahkah kau shalat ashar?”. Tiba-tiba suara Andri memecah keheningan. “Kalau memang belum shalat, shalat disini saja karena sebentar lagi adzan maghrib”. Lanjutnya. Aku hanya menganggukkan kepala ketika ditanya oleh Andri. Tanpa berpikir panjang aku langsung menuju kamar mandi yang terletak di pokok kiri ruangan. Aku berwudlu’ lalu shalat.
Setelah selesai shalat, Andri memanggilku. kemudian dengan segera aku kembali ke tempat yang tadi. Katanya, masih ada yang ingin dibicarakan. Aku langsung duduk di depannya. “Apa yang kau rencanakan selanjutnya, apakah kau tetap pada pendirianmu untuk meninggalkan komunitas ini?”. Tanya Andri. Aku hanya tertegun. Mulutku tiba-tiba kelu katika dihadapkan pada dua pilihan yang menurutku sama-sama baik. Aku bingung harus pilih yang mana. Dalam hati aku cendrung lebih memilih keluar dari komunitasnya tapi konsekwensinya mereka akan memusuhiku, menghinaku seperti kemarin-kemarin.
“Dapatkah kau mengabulkan permintaanku?. Aku tak akan keluar dari komunitas ini asalkan aku boleh menentukan jalan hidupku sendiri. Jujur, aku merasa terkekang sejak aku bergabung dalam komunitas ini. Seolah-olah aku didoktrin untuk mengikuti ideologi mereka. Aku tidak suka ada pemerkosaan karakter seperti itu”. Andri tertegun mendengar permintaanku. Raut wajahnya tampak lesu, seolah ia keberatan dengan segala keputusanku. Begitu pula dengan lelaki yang duduk di sampingnya. Ia tak berkomentar apa-apa. Dalam hatinya mungkin menggerutu. Ia hanya memandangi Andri dengan tatapan bingung. Hening. Tak lama kemudian Andri mulai angkat bicara.
“Keberadaan komunitas ini masih jauh dari yang kita harapkan. Ia ibarat sebuah bangunan. Tak akan berdiri kokoh kalau kita mengecornya dengan amarah. Kehidupan ini memang absurd. Tidak bisa ditebak dan diukur panjangnya. Begitu pula dengan manusia. Ia juga absurd karena tidak bisa ditebak nasibnya. Haruskah kita mempertautkan itu untuk kepentingan diri sendiri?”. Tegasnya. Aku lega seketika dengan keputusannya yang terakhir ini. Ternyata mereka masih bersedia menerimaku kembali. Terima kasih, Tuhan!. Mungkin ini anugerah terbaik yang kau kirimkan untukku.
*Penulis adalah mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya. Saat ini aktif pada Forum Pecinta Satra dan Seni (FORSENI) di Surabaya.
KALKULASI KEPENTINGAN DENGAN TERMA TERORISME
Oleh: Maltuf Ready*
Hal yang terpenting tentang Islam adalah bahwa kita harus membedakan dua wajah Islam. Pertama, lembaga Islam. Kedua, budaya Islam
(Gus Dur)
Stigma terhadap Islam sebagai agama kekerasan, teror, anti-HAM, anti-demokrasi, dan lain sebagainya, menjadi afirmatif ketika mendapat momentum pasca-peristiwa 11 September dulu dan realitas kebanyakan dunia Islam yang dipimpin oleh kekuasaan otoriter.
Perspektif barat terhadap Islam yang penuh deskripsi peyoratif merupakan generalisasi yang salah kaprah, sekaligus kegagalan memahami peradaban Islam secara holistik. Banyaknya aksi yang tidak adil terhadap umat Muslim di negara-negara Barat tidak lain bermula dari akar masalah persepsi yang timpang ini. Diskriminasi sosial yang sering menimpa sebagian umat Islam di dunia Barat adalah akibat korelasi pemahaman yang masih menyimpan trauma bahwa Islam mengajarkan kekerasan, ketidakadilan, dan sebagainya.
Dalam perspektif Barat, Islam erat kaitannya dengan model agama yang mendidik terorisme dan kekerasan. Munculnya tesis orientalis semacam Bernard Lewis yang melihat sisi buruk Islam politik atau Samuel Huntington dengan tesis benturan antar peradaban, lahir dari genealogi prasangka Barat yang memiliki kuasa kepentingan atas dunia Islam.
Di sinilah kritik Edward Said kembali relevan mengenai orientalisme (1978), bahwa Timur dipandang sebagai yang lain dan akhirnya menjadi truth claim untuk menyusun beragam teori, deskripsi politik, dan sebagainya. Orientalisme akhirnya menjadi proyek historis-materialis sebagai jenis pengetahuan Barat yang mempunyai tujuan mendominasi, merestrukturisasi, dan mendatangkan kekuasaan atas Timur.
Sebuah buku berjudul Western State Terrorism yang dieditori oleh Alexander George, mengkompilasi data-data dari sejumlah penulis, seperti Chomsky, Edward S. Herman, Richard Falk, dan sebagainya, yang menunjukkan bagaimana Barat, terutama AS dan Inggris, menggunakan isu terorisme sebagai alat politik luar negerinya (to employ terrorism as a tool of foreign policy). Prof. Edward S. Herman, guru besar di
Semakin biasnya penggunaan istilah teroris adalah dalam kasus pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) di Shabra-Shatila pada 1982. Pembantaian itu jelas dilakukan oleh Tentara Kristen Phalangis dengan pemantauan penuh
Mengikuti perjalanan sejarah terorisme, mulai dari aksi-aksi bom bunuh diri hingga yang terbaru kemaren, peledakan dan penyanderaan di Hotel Taj Mahal, Mumbai, Rabu malam (
Pertama, Satu hal yang harus kita akui bahwa, jika terorisme sekadar dikaitkan dengan ideologi atau agama tertentu, dengan melihat aksi-aksi terorisme yang terjadi di negara-negara Asia serta di dunia ketiga semisal Indonesia, pendapat tersebut sangat tidak relevan. Terorisme adalah sebuah kejahatan terorganisasi, lintas negara, yang kebetulan menunggang kepentingan sebuah ideologi dan bersembunyi di balik kedok agama. Karena pada dasarnya setiap agama menganjurkan pemeluknya menghindarkan kekerasan dalam penyelesaian suatu masalah, maka adalah sesat jika para teroris itu menyebut aksinya sebagai perintah agama, apalagi diklaim sebagai syuhada’ bagi pelaku teror yang mati saat melakukan teror bom bunuh diri atau mati karena dieksekusi.
Kedua, mengkritisi ulang akan dominasi pendekatan kebudayaan terhadap konflik-konflik Muslim-Barat, bahwa konflik-konflik itu tak dipicu oleh identitas budaya, agama atau peradaban, tetapi oleh sebuah kalkulasi kepentingan.
Seyogyanya pilihan untuk menggunakan kekerasan atau teror itu bukan merupakan cermin dari faktor ideologi, agama atau kultural. Tapi merupakan cermin dari faktor kalkulasi strategis atau kalkulasi kepentingan. Artinya, jika sebuah kelompok memilih untuk menggunakan pendekatan kekerasan atau kedamaian, maka bergantung pada kalkulasi insentif dan disinsentif atas tiap-tiap pendekatan tersebut. Perlawanan dan metodenya sering ditentukan oleh kalkulasi tersebut, tidak hanya kalkuasi ideologi, agama dan kultural.
Hal ini bisa kita lihat pada hubungan antara Amerika Serikat (AS) dengan kelompok mujahidin Afghanistan. Berbagai kelompok oposisi Afghanistan ini sebelumnya berada dalam barisan yang sama dengan AS saat berperang melawan pendudukan Soviet di Afghanistan pada tahun 1980-an. Saat itu, AS memandang kelompok ini sebagai pejuang kemerdekaan atau pahlawan. Tetapi kini, sebagian dari kelompok ini malah berperang melawan AS, kekuatan pendudukan baru. Sehingga AS dengan tanpa pandang bulu, men-cap kelompok ini sebagai teroris. Cara pandang masing-masing pihak ini terhadap tantangan, kepentingan, dan posisi masing-masing membuat mereka bersekutu atau bermusuhan.
Ketiga, istilah clash civilization-nya Samuel P. Huntington itu terlalu dipaksakan. Seakan-akan ada sebuah situasi konflik yang spesifik antara Muslim dan Barat. Pada hal konflik-konflik yang dinyatakan sebagai benturan peradaban tak pernah menyangkut agama semata. Hal ini bisa kita lihat pada Perang Salib, selain agama juga memiliki kepentingan politik dan tanah.
Anis Baswedan, Rektor Universitas Paramadina ini pernah mengungkapkan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah berbagai bentuk polarisasi yang selalu muncul sepanjang sejarah manusia. Baik polarisasi budaya, ideologi, ras, dan agama. Sedangkan polarisasi itu sendiri merupakan bagian dari fitrah kehidupan.
Meskipun demikian, motif-motif ideologis atau agama itu tentu ada tetapi hanya berjalan di tingkat mikro atau yang biasa disebut dengan motif-motif individual. Agama atau ideologi hanya alat yang dibajak untuk merekrut, memotivasi, serta menciptakan solidaritas para pelaku sebagai legitimasi. Konflik-konflik itu didengungkan sebagai konflik yang bersifat ideologis atau religius untuk menginspirasi para pengikut, melegitimasi perang sebagai just war, menarik sekutu, dan sebagainya.
Keempat, dalam kerangka pemahaman terhadap wacana ini, maka penting menggunakan analisa strategis rasional yang tujuannya adalah untuk mengetahui potensi konflik kekerasan yang mungkin timbul, sehingga bisa segera menemukan cara pencegahannya. Jika hanya menggunakan pendekatan kultural (cultural approach), sebuah pendekatan yang melihat tindakan seseorang atau kelompok dipengaruhi oleh variabel-variabel psiko-religius-kultural, maka dimungkinkan hanya akan berputar-putar saja, tanpa mengetahui bagaimana cara menangani konflik tersebut.
Kelima, penggunaan ideologi, kebudayaan, dan agama hanya sebagai senjata ampuh dalam menciptakan solidaritas dan integritas yang tinggi. Ini terjadi karena ketransendentalan dan kemesiahannya yang dipergunakan untuk tujuan-tujuan di luar dirinya. Ketika tujuan di luar dirinya itu tercapai, ia bisa dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan strategis lainnya. Jika kemudian terjadi perubahan-perubahan geopolitik maka tidak impossibel merubah sekutu menjadi musuh.
Dua mata memahami Barat dan Timur
Ada hal yang menarik saat ini, dan ini juga bisa dikatakan peluang karena antara islam di barat dan barat di Islam masing-masing mempunyai ruang dialog. Islam sedang tumbuh dan hadir di pusat-pusat peradaban yang menonjol, seperti di kota-kota utama Amerika atau Eropa. Meskipun sebagai minoritas, Muslim di sana harus mampu menunjukan kepribadian yang baik, menegosiasikan nilai-nilai Islam melalui bahasa peradaban tuan rumah, menjadi bagian dari kekayaan peradaban tersebut.
Demikian pula yang dialami oleh orang-orang Barat yang tinggal di negara-negara Muslim (Timur). Di tangan duta besar masing-masing elemen inilah masa depan hubungan Muslim dan Barat terletak, karena mereka memiliki posisi istimewa untuk menjadi bagian dari masyarakat Muslim maupun Barat.
Sedangkan persepsi, paradigma, penafsiran, serta corak pemikiran Barat atas Islam yang kurang sedap harus secepatnya didekonstruksi. Hakikatnya, kegagalan Barat yang memandang sebelah mata terhadap Islam, sejatinya merupakan kegagalan proses dialog. Akibat kesalahan dialog tersebut akhirnya menyimpan prasangka yang berlebihan serta menggeneralisasi realitas umat Islam.
Jadi, sebagaimana diktum Akh. Muzakki saat diskusi Team Manhaj kemaren, bahwa representasi barat terhadap Timur, begitu pula sebaliknya, akan menuai hasil positif. Implementasi opini ini dalam skala kecil akan memandang bahwa terorisme di berbagai belahan dunia, termasuk teror di Hotel Taj Mahal, Mumbai, yang notabene sebagai pusat perekonomian India, tidak akan dipandang sebelah mata, banyak kalkulasi kepentingan yang perlu dianalisis bersama. Jika interpretasi terorisme sebagai kejahatan timur terhadap barat, lantas disebut apakah kejahatan yang dilakukan barat terhadap Timur?.
* Penulis adalah koodinator Lingkar Pena Mahasiswa Surabaya